Oleh : M. Dwi Cahyono (Arkeolog – Sejarahwan Nusantara)
Salah satu diantara beragam aksesoris sebagai kelengkapan penampilan (performance) adalah anting-anting (varian sebutan “suweng” atau “giwang”). Istilah Sanskreta yang diserap ke dalam bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan untuk menyebut anting-anting adalah “kundala”.
Pada bahasa Jawa Baru maupun bahasa Indonesia sebutan ini telah tidak lagi terdapat. Aksesoris kundala ada- lah salah satu kelengkapan penampilan di sekitar kepala, tapatnya pada daun telinga. Konon, di masa lampau, terdapat dua aksesoris di telinga, yaitu : (1) sumping, yang ditempatkan antara daun telinga dan batok kepala sisi samping, dan (2) kundala, sebagai penghias ujung bawah daun telinga, yang pemakaiannya antara lain dengan disertai “penindikan (tindik)” di gelambir bawah daun telinga.
Penghiasan telinga telah menempuh perjalanan sejarah amat panjang dan mendunia. Jejak visualnya di Nusantara paling tidak telah kedapatan semenjak Masa Hindu-Buddha dan masa-masa sesudahnya. Artefak masa lampau yang berupa seni arca dan relief candi merupakan sumber data masa lalu yang penting untuk melacak ragam bentuk, ragam bahan, ragam cara mengenakan dan ragam fungsi kundala di masa lampau. Diantara beragam bentuk kundala, ada kundala yang berukuran cukup besar dan cukup berat bila dikenakan di ujung daun telinga. Tak sedikit kundala yang demikian itu dimasukkan ke dalam lobang tindik. Lantaran besar dan berat, akibatnya lobang tindikan bisa kian melebar dan memanjang, sehingga muncul sebutan “telinga panjang”, sebagaimana banyak dijumpai pada warga etnik Dayak masa lalu.
Sesungguhnya, telinga panjang tak hanya terdapat di warga etnik Dayak, namun dimasa lalu kedapatan juga Jawa, sebagaimana tergambar pada seni arca (ikonografi). Foto terlampir hanyalah satu dintara jejak artfektual suatu kundala berbentuk bundar cukup besar, dan karenanya cukup berat, sehingga bisa menjadikan tindikan pada ujung daun telinga bawah pemaksinya melebar, memanjang, atau disebut juga “ndower” ketika memasuki usia lanjut. Penggunanya bukan hanya sebatas orang berjenis kelamin wanita, namun lelaki pun mengenakannya. Telinga panjang karenanya konon bisa juga dijumpai di Jawa pada kaum pria.
Kundala bundar ukuran besar dan cukup berat, yang dikenaian pada lubang tindik mempercepat terbentuknya telinga panjang, baik di telinga perempuan ataupun laki-laki. Pada arca terlampir, yang mengenakan berjenis kelamin laki-laki. Selain mengenakan kundala, tergambar bahwa telinganya juga mengenakan sumping berwujud bunga (sumping puspa). Arca dimaksud berasal dari Candi Jajaghu (Jago), sebagai salah sebuah dewa pengiring dari Dhyani Boddhisattwa Amoghapasa, yang kini disimpan dan menjadi benda koleksi pada Museum Nasional di Jakarta.
Pada arca-arca era Singhasari maupun Majapahit, arca yang menggambarkan bertelinga lebar serta panjang terbilang cukup banyak ditemukan. Salah satu diantara adalah pada arca tertelaah ini. Yang terbilang unik untuk dicermati adalah ternyata bentuk dan cara mengenakan kundala bundar cukup besar dalam ukuran lubang tindik daun telinga tidak hanya dijumpai pada masa Hindu-Buddha, namun masih eksis hingga kini. Tak sedikit anak muda pria yang berpenampilan “eksentrik”, seperti anak-anak Punk, Slenk, Rockers, dsb., tampil penuh percaya diri (PD) dengan mengenakan kundala (anting, suweng, giwang) bundar besar yang demikian.
Demikianlah tulisan ringkas dan bersahaja ini, yang menelaah mengenai kundala bundar pada seni arca Singhasari yang bergaya kesenian Phala, serta tradisi penggunaannya hingga kini. Semoga dapat menambah khasanah pengetahuan para pembaca budiman. Nuwun.
Sangkaling. 28 Februari 2023
Griyajar CITRALEKHA **
(DwiCahyono/fb).