WartaPress, Kajian Hukum – Produk jurnalistik yang dipublikasikan oleh media massa memiliki dampak sosial yang luar biasa. Misalnya sebuah konten berita yang dimuat sebuah media online, dapat dibaca oleh siapapun, di manapun dan kapan saja.
Lalu bagaimana jika ada suatu pemberitaan dari media berbadan hukum perusahaan pers dinilai merugikan pihak-pihak tertentu? Dinilai menyebarkan berita bohong yang tidak sesuai fakta? Atau mengandung unsur pencemaran nama baik? Bisakah hal itu digugat di bawa ke ranah hukum?
Mari kita bahas, pertama tentang media massa. Ada beberapa macam media antara lain ada media cetak (koran, tabloid, majalah), media elektronik seperti Radio, media Televisi dan Media Online atau media siber.
Media-media di atas bernaung di bawah Badan Hukum, dan umumnya berupa PT yang khusus menerbitkan produk pers. Misalnya, media online WartaPress.Com bernaung di bawah PT Trans Media Pressindo. Perusahaan pers ini wajib menjalankan kegiatan jurnalistik yang sesuai dengan UU Pers.
Media, badan hukum pers diatur oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers atau umumnya disebut UU Pers. UU Pers inilah yang memayungi kegiatan pers, termasuk bagaimana jika terjadi persengketaan terkait pemberitaan media.
Perlu diketahui bahwa berita yang dipublis media adalah produk dan aktivitas jurnalistik berupa mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, data dan grafik maupun bentuk lainnya.
Dalam kegiatan jurnalistik, berhubungan erat dengan wartawan/jurnalis sebagai pencari dan penulis berita, media/pers sebagai badan hukum penerbit, narasumber atau informan sebagai salah satu sumber berita.
Jika ada pihak yang keberatan dan dirugikan dengan pemberitaan media/pers, merujuk pada UU Pers, ada tiga langkah yang dapat dilakukan, yaitu:
- Menggunakan hak jawab. Yaitu hak seseorang atau pihak tertentu untuk memberikan tanggapan, klarifikasi atau sanggahan terhadap suatu pemberitaan yang merugikan nama baiknya. Media wajib memuat menayangkan hak jawab ini.
- Menggunakan hak koreksi, yaitu setiap orang berhak untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Hak koreksi ini tidak harus dilakukan oleh pihak yang dirugikan.
- Pengaduan ke Dewan Pers, sebagai langkah lanjutan jika dua cara sebelumnya mengalami jalan buntu.
UU Pers tegas mewajibkan setiap badan hukum media melayani hak jawab dan hak koreksi atas pemberitaannya. Misalnya memuat atau menyiarkan hak jawab secara proporsional dan sesuai dengan ketentuan Dewan Pers sebagai lembaga yang dimandatkan oleh UU Pers dalam mengatasi masalah media. Melayani hak jawab dan koreksi ini merupakan kewajiban hukum bagi setia media, jika tidak dilaksanakan maka pihak media akan menghadapi ancaman pidana denda paling banyak Rp 500 juta rupiah.
Jika langkah tersebut dirasa belum cukup maka pihak yang dirugikan pemberitaan media dapat mengadukan ke Dewan Pers. Dewan Pers akan mengambil tindakan seperti himbauan, rekomendasi hingga tindakan tegas sesuai kode etik jurnalistik. Hal ini telah diatur dalam Peraturan Dewan Pers 01/2017.
Di negara hukum segala hal yang dianggap memiliki potensi pelanggaran dapat digugat, termasuk dugaan pelanggaran dalam pemberitaan pers. Namun dalam prakteknya, sangat jarang ada pihak yang menggugat pemberitaan media, karena penegak hukum sejauh ini lebih mengikuti mekanisme penyelesaian Dewan Pers.
Dewan Pers sebagai satu-satunya institusi yang mengatur pers menurut UU Pers, telah memiliki nota kesepahaman dengan POLRI dan Kejaksaan Agung RI, yang isinya menegaskan kerja sama untuk menegakkan perkara hukum terkait kegiatan jurnalistik sesuai UU Pers. Secara khusus disepakati bahwa laporan pidana ke kepolisian atas produk pers akan diarahkan untuk diselesaikan di Dewan Pers terlebih dahulu. Maka sejak saat itu, persengketaan produk jurnalistik yang mengarah ke dugaan pidana tetap mengutamakan mekanisme penyelesaian Dewan Pers.
Apakah produk jurnalistik, misalnya sebuah pemberitaan media/pers dapat dijerat UU ITE? Dewan Pers melalui pernyataan sikap Siaran Pers No.25/SP/DP/XII/2023, menilai pasal-pasal UU ITE tidak dapat digunakan terhadap produk pers sebagai karya jurnalistik yang sudah tegas dan jelas diatur dalam UU Pers.
Mengutip Hukum Online, Dewan Pers merujuk pada lampiran angka 3 huruf I SKB UU ITE bahwa untuk pemberitaan di internet yang dilakukan institusi pers, yang merupakan kerja jurnalistik yang sesuai dengan ketentuan UU Pers, diberlakukan mekanisme sesuai dengan UU Pers sebagai lex specialis bukan UU ITE.
Bagaimana agar pers/media siber juga melaksanakan kegiatan jurnalistik yang profesional dan sesuai aturan, maka Dewan Pers menerbitkan Pedoman Pemberitaan Media Siber, yang wajib dicantumkan di setiap portal atau website media online.
Bagaimana dengan NARASUMBER atau informan yang diwawancarai wartawan sebagai sumber berita, apakah bisa dituntut pidana?
Ulasan menarik diulas oleh situs HukumOnline.Com, bahwa mengenai kemungkinan gugatan atau tuntutan kepada narasumber berita yang diperkarakan, Putusan Kasasi MA No. 646 K/Pid.Sus/2019 pernah membebaskan narasumber berita yang didakwa atas penghinaan atau pencemaran nama baik dalam UU ITE. Mahkamah Agung menilai bahwa (hal. 5):
…tidak dapat dinilai sebagai perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juncto Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Merujuk pada ulasan di atas, maka pernyataan narasumber berita yang disiarkan media elektronik tidak bisa membuatnya dijerat delik pencemaran nama baik dan/atau penyebaran berita bohong.
Lebih lanjut, Mahkamah Agung juga menilai (hal. 6):
Bahwa hasil wawancara Terdakwa dengan beberapa media karena sudah diolah menjadi berita sehingga termasuk karya jurnalistik, maka pertanggungjawabannya ada pada pengelola media yang bersangkutan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dengan demikian maka, dugaan pencemaran nama baik dan/atau penyebaran berita bohong oleh narasumber berita dalam hasil wawancara pemberitaan media juga diakui sebagai produk pers yang tunduk pada mekanisme UU Pers.
Dapat disimpulkan bahwa proteksi hukum terhadap produk jurnalistik sangat kuat. Maka tak heran bila “Media” disebut-sebut sebagai entitas paling kuat di dunia. Tetapi ingat, tidak semua pemberitaan di internet adalah karya jurnalistik, tidak semua penerbit platform online merupakan institusi pers. Tidak semua insan pers kebal hukum. Semua harus berpijak pada UU No.40 tahun 1999 Tentang Pers. (Red1//la/wp). **