WartaPress, Kearifan Lokal – Ramadhan sebentar lagi tiba. Berbagai penyiapan dilakukan umat Islam. Khususnya di Jawa, ada tradisi menyambut ramadhan yang khas, yang berbeda dengan tradisi suku bangsa lainnya. Kali ini kami mengulas dengan referensi kajian seorang arkeolog-sejarajwan nusantara M. Dwi Cahyono, yang sangat paham kultur bangsa nusantara.
“Di berbagai negara mempunyai tradisinya masing-masing jelang memasuki ibadah bulan Ramadhan. Pria muslim di India menghias matanya dengan menggunakan kohl (semacam celak mata). Masyarakat muslim di Cina mempunyai tradisi unik yang dinamakan ‘Muqam’, yakni tari-tarian dan nyanyian yang dilaksanakan oleh muslim Kashgar. Umat muslim di Mauritana pada pesisir Atlantik di Barat Laut Afrika memlki tradisi meminum minuman khas, yakni teh hijau, sambil berkunjung ke setiap rumah dengan tujuan untuk menghidupkan ukhuwah Islamiyah. Di Arab Saudi ada tradisi membunyikan meriam Ramadhan di Mekah pada malam hari sebelum memasuki bulan puasa. Mesir memiliki tradisi penyambutan bulan suci Ramadhan yang dilakukan sejak Dinasti Fattimiyah dengan memasang ‘lampu tradisional Fanus’,” ungkap M. Dwi Cahyono, arkeolog yang juga sejarahwan nusantara dalam artikelnya yang dikutip dari Jurna Malang.
Kata Dwi Cahyono, tradisi jelang memasuki Ramadhan juga terdapat di Indonesia. Malahan, memperlihatkan keragaman di daerah-daerah etnik. Pada warga etnik Jawa misalnya, tradisi yang dilakukan antara lain: (a) ziarah kubur (nyadran – berasal dari kata ‘sradha-an’), (b) megengan, (c) bermaafan, (d) pensucian diri dengan ritus mandi, (e) takbir keliling, (f) tabuh bedug bertalu (tidur), (g) dahulu membunyikan mercon (meriam) bumbung, (h) pawai obor, dsb.
Megengan adalah salah satu diantara sekian banyak bentuk tradisi jelang Ramadhan di Jawa. Sebutan lain untuknya adalah ‘Ruwahan’, dan ada pula yang menyebut atau mengkaitkan dengan ‘Punggahan’.
“Megengan adalah kata jadian di dalam Bahasa Jawa. Terbentuk dari kata dasar (lingga) ‘megeng’ dan akhiran ‘an’. Kata ‘megeng’ tak didapati dalam kosa kata Jawa Kuna dan Tengahan, sehingga bisa jadi baru muncul pada Bahasa Jawa Baru. Menurut Prof. Dr. Nur Syam, secara lughawi kata ‘megengan’ berarti menahan. Misalnya ungkapan ‘megeng nafas’ menunjuk pada menahan nafas. Serupa dengan itu, ‘megeng hawa nafsu’ berarti menahan hawa nafsu,” lanjutnya.
Megengan, kata Dwi lagi, adalah salah sebuah tradisi indigenous Jawa, sebagai persiapan khusus untuk memasuki bulan Ramadhan yang amat disucikan dalam Islam, dengan melaksanakan selamatan ala kadarnya. Malahan, ada yang mengadakan selamatan besar untuk dibagi-bagikan pada sanak famili, tetangga atau dikirim ke mushola/masjid untuk dikendurikan bersama. Tradisi ini biasa juga disebut ‘mapak’, dalam arti menyambut kedatangan bulan yang penuh rahmat dan ampunan. Sebutan lain atau tepatnya yang terkait dengannya adalah ‘tradisi ruwahan’. Dikatakan ‘ruwahan’, sebab tradisi ini dilakukan di pertengahan ke arah akhir bulan Ruwah (bulan Sya’ban menurut tahun Hijriyyah). Bulan Ruwah adalah bulan ketujuh, penghubung bulan Rajab dan Ramadhan.
“Lambat laun tradisi Megengan ditinggalkan, utamanya di perkotaan. Hal ini berlainan dengan di lingkungan pedesaan yang masih kental tradisi, dimana Megengan rutin dijalan setiap tahun sehari atau beberapa hari jelang Ramadhan. Bahkan kendati seseorang atau satu keluarga tak sepenuhnya jalankan ibadah puasa, namun Mengengan tetap dijalankan sesuai kosepsi budaya keagamaan yang diyakininya. Islam Jawa memang memiliki banyak tradisi khas dalam implementasi Islam. Dalam hal ini, tradisi Megengan merupakan salah satu tradisi khas, yang tak dimiliki oleh Islam di tempat lain. Megengan dilakukan dengan perayaan meriah. Antusias menyambut tibanya bulan Ramadhan yang penuh barokah. Suasana demikian ini dalam Bahasa Jawa diistilahi dengan ‘prepekan’, yang berlangsung dua kali: (a) jelang memasuki Ramadhan, (b) jelang memasuki Hari Raya Idul Fitri,” katanya lagi.
Kue Apem sebagai Menu Khas Megengan
Asal muasal kue Apem juga diulas oleh arkeolog Dwi Cahyono. Sejauh ini, katanya, terdapat dua pendapat tentang daerah asal pengaruh penganan yang dinamai ‘apem’ di Nusantara. Pertama, mengasalkan kata ‘apem’ dengan istilah di dalam Bahasa Arab ‘afuan, afwan, affan atau afuwwun’, yang berarti maaf atau ampunan. Dalam konteks ini, apem dipandang sebagai simbol permohonan ampun atas berbagai kesalahan. Orang Jawa menyederhanakan kata Arab ini dengan ‘apem’. Tujuan penggunaaannya adalah agar masyarakat terdorong untuk selalu memohon ampun kepada Sang Pencipta. Lambat laun kebiasaan ‘membagi-bagi’ kue apem berlanjut kepada acara-acara selamatan menjelang Ramadhan.
“Penganan berbahan dasar tepung beras ini menjadi kue yang wajib dihidangkan pada acara Megengan, dengan harapan warga pemegang tradisi ini menarik pelajaran dari kue Apem, yakni simbol permemohonan ampun kepada Sang Khalik atas perbuatan dosanya selama setahun lalu. Sebelum kue Apem dibagi-bagikan selepas sholat jama’ah Maghrib ataupun Isya’, para jama’ah lantunkan kalimat-kalimat tayyibah – dalam hal ini adalah tahlil dan istighosah, dengan harapan supaya dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan merasa tenang dan berlapang dada, sebab Allah memaafkan segala dosa yang telah mereka perbuat,” imbuhnya.
Ada pendapat berbeda lagi, yang mengasalkan apem ini asalnya dari India, dengan nama ‘appam’. Suatu nama yang amat dekat dengan sebuatan penganan di Indonesia, yaitu ‘apem’. Appam adalah suatu penganan tradisional tepung beras atau sejenis panekuk yang dibuat dengan adonan nasi fermentasi yang didiamkan selama semalam, dengan mencampurkan telur, santan, gula dan tape serta sedikit garam, kemudian dibakar atau dikukus. Selain dicampur dengan santan, terdapat juga appam yang mempergunakan susu sapi sebagai pengganti santan. Bentuk dan rasa appam praktis sama dengan yang ada di Indonesia atau di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Bentuknya serupa serabi, tapi lebih tebal. Appem biasa disantap dengan kari ayam atau ikan, atau saus bumbu pedas yang mirip dengan sambal, dan paling sering dimakan untuk sarapan atau makan malam. Cara pembuatannya juga banyak memperlihatkan persamaannya dengan di Indonesia.
“Paparan diatas menegaskan bahwa apem berasal dari India, khususnya India Selatan. Oleh karena istilah ‘apem, appam dan serabi’ tidak didapati dalam kosa kata Jawa Juna ataupun Tengahan, ada kemungkinan appam baru memasuki Nusantara sekitar Masa Perkembangan Islam, yakni seiring penyebaran (difusi) budaya Islam ke Nusantara yang dibawa oleh para migran India-Muslim, yang dalam lidah Jawa dinamai ‘Wong Keling’ – ada sejumlah ‘kampung (kampong, gampong) Kling’ di Indonesia. Hal ini juga terdukung oleh adanya pengaruh kuat Islam dari negeri Persia-India pada periode awal Islamisasi Jawa pada Masa Kewalian hingga dua atau tiga abad berikutnya. Pengaruh budaya India ke Nusantara yang sebelumnya berlatar agama Hindu-Buddha, lambat-laun berganti dengan pengaruh Islam, sejalan dengan perkembangan Islam di India sejak masa Kasutanan Dehli (1206-1526) dan Mughal (1526-1857), atau bahkan hingga dua abad sebelumnya – sebagaimana terbukti dalam nisan Fatimah Binti Maimun di situs Leran berbahan marmar asal Cambay (India pantai barat di sekitar Teluk Gujarat, yang mengahap ke Laut Persia) dengan tarikh meninggal 12 Rabiulawal 475 Hijriyah (1082 Masehi). Boleh jadi, Appam masuk ke Nusantara dibawa pedagang India-Muslim asal Gujrat atau khususnya asal India Selatan,” lanjutnya.
Acapkali tradisi budaya Islam Nusantara yang ‘kreatif-akulturatif’ dipendapati sebagai buah cipta dari Walisanga, khususnya oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Tentu pendapat itu baru sebatas dugaan, berdasarkan pemikiran bahwa kreasi-kreasi tentang Islam Jawa kebanyakan datang dari pemikiran Sunan Kalijaga. Apabila benar bahwa tradisi Megengan berawal dari atau semasa Sunan Kalijogo, berarti tradisi ini konon djadikan sebagai ‘wahana siar Islam’, seperti halnya pada tradisi Sekaten. Megengan mensiasati lewat ‘pembelokan’ atau tepatnya pemberian ‘nafas Islami’ terhadap tradisi Ruwahan yang ada lebih awal, antara lain dengan mengubah ‘sesajian (sajen)’ menjadi ‘shodaqoh makanan’ – khususnya penganan apem, yang menjelang tibanya puasa Ramadhan dipertukarkan, dibagikan atau kenduri bersama.
Apem dalam tradisi Megengan dengan demikian adalah bukti sejarah mengenai awal Islamisasi di Nusantara, khususnya di daerah pedalam, yang kala itu masih memiliki tradisi pra-Islam terbilang kuat, seperti slametan, sadranan, pensucian diri dengan media air (diksa air), pantang makan dan minum untuk kurun waktu tertentu (tapa), dsb. Sebagai penganan, mulanya apem hanya dijadikan sebagai salah satu kelengkapan di dalam kenduri, namun kemudian mengalami spesifikasi menjadi ‘slametan apem’ pada tradisi Megengan. Model siar Islam di India yang akulturatif terhadap anasir budaya pra-Islam setempat dipandang sebagai ‘model siar Islam yang tepat-guna’ di Jawa kala itu, baik pada Masa Keemasan ataupun Akhir Majapahit.
Megengan merupakan salah sebuah tradisi budaya Islam di Jawa. Sebagai tradisi, Megengan telah berlangsung ‘lintas generasi’, dengan wujud relatif tetap untuk daerah bersangkutan. Namun, di Jawa tradisi ini tak selalu sama di setiap daerah. Masing-masing daerah bahkan memiliki keunikan tersendiri, meskipun secara umum diwujudkan dalam ‘upacara selamatan’ khas Jawa, dimana tiap-tiap kepala keluarga mengundang tetangga untuk berkenduri (slametan atau kenduren) sembari menikmati pasugatan (sajian) makanan yang telah disiapkan dan dengan mekanisme doa dipimpin oleh seorang imam terdipilih. Penganan yang menjadi ciri khas atau simbol tradisi ini adalah apem. Tradisi Megengan dijadikan sebagai ‘ajang silaturrahim’, dengan membagikan kue apem sebagai simbol permintaan maaf antar sesama Muslim jelang memasuki Bulan Suci Ramadhan. Cukuplah alasan untuk menyatakan bahwa tradisi Megengan adalah produk ‘akulturasi antara budaya lokal Jawa dan budaya Islam’, yang intinya mengingatkan bahwa sebentar lagi bakal memasuki Bulan Suci Ramadhan sebagai ‘Bulan Berpuasa’.
Ragam Tradisi Jelang Ramadhan masih disampaikan Dwi Cahyono, sebagai berikut:
Tradisi jelang Ramadan merupakan fenomena jamak di Nusantara, bukan hanya terdapat di Jawa. Pada masyarakat muslim di Karang Asem (Bali) misalnya, tradisi menjelang Ramadhan dinamai ‘Magibung’, yatu makan bersama diselingi dengan obrolan ringan. Kemeriahan jelang Ramadhhan tergambar pada ‘padusan’, yang kian lama kian banyak dilakukan di berbagai tempat, yaitu suatu cara yang dipercaya bisa ‘menyucikan diri’ dengan mandi atau berendam di laut atau pada sumber air yang dianggap keramat.
Di Riau ada menjelang Ramadhan dihelat pesta rakyat dengan beramai-ramai memenuhi tepian sungai guna melihat perlombaan dayung yang disebut dengan ‘Jalur Pacu’ dan diakhiri dengan ‘tradisi Balimau Kasai’, yaitu bersuci diri jelang matahari terbenam hingga malam. Sementara, orang Betawi melakukan kegiatan ‘nyorog’, yakni tradisi pada tiap memasuki Ramadhan dengan ‘membagikan bingkisan’ kepada anggota keluarga atau tetangga dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan. Biasanya dilakukan orang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua sembari meminta restu bagi kelancaran ibadah puasanya selama satu bulan mendatang.
Warga muslim di Minangkabau melakukan ‘malamang’. Sesuai pola “matriarkhat” di ranah Minang, tradisi ini dilakukan oleh kaum ibu-ibu, terkait dengan ajaran dari Syech Burhanuddin dalam bentuk memasak lemang, yakni makanan khas dari adonan beras ketan putih dan santan yang dimasukkan ke dalam bambu. Selain itu di Minangkabau dilaksanakan tradisi “Balimau’, yakni mandi dengan jeruk nipis untuk membersihkan diri secara lahir dan batin.
Kemeriahan jelang memasuki Ramadhan juga tergambar dalam tradisi ‘Dugderan’ di masyarakat Semarang, yang telah dilakukan sejak tahun 1881. Perhelatan rakyat ini diisi dengan tari-tarian, karnaval, tabuh bedug, utamanya mengarak ‘Warak Ngendong’ yang menjadi simbol acara. Pada ujung barat Indonesaia, yaitu Aceh, diselenggarakan tradisi ‘Meugang’ – mempunyai kemiripan sebutan dengan ‘megeng-an’ di Jawa namun dengan kegiatan yang berbeda, yaitu tradisi memasak daging dan menikmatinya bersama orang terkasih dan yatim piatu, mirip dengan Idul Adha dimana masyrakat beramai-ramai menyembelih kurban berupa kambing atau sapi. Di Kudus tradisi jelang Ramadhan diisi dengan ‘Dandangan’, sudah ada sejak 400an tahun lalu (era Sunan Kudus), dalam bentuk pasar malam yang menjual berbagai kebutuhan rumah tangga.
Adapun di Banyumas terdapat tradisi ‘Perlo Unggahan’, bentuk ziarah kubur seminggu sebelum memasuki bulan Ramadan. Pelaku upacara diharuskan lepas alas kaki sambil menjinjing nasi ambeng (makanan khas Banyumas), dan diakhiri dengan makan bersama-sama untuk menjaga tali silaturahmi. Serupa itu, di Palembang dilakukan ‘Ziarah Kubro’, yaitu ziarah ke makam para leluhur dan ulama. Adapun di Makasar diselenggarakan tradisi ‘Suro’ baca’ di kalangan suku Bugis pada akhir bulan Sya’ban atau H-7 sd H-1 Ramadhan dengan makan bersama sekaligus silahturrahmi. Biasanya diisi dengan doa bersama dan diakhiri dengan ziarah ke makam para leluhur. Bentuk pensucian diri di Surabaya adalah dengan memakan kue apem, dan tak kalah pentingnya adalah melakukan ‘nyadran’, yakni ziarah kubur jelang bulan puasa Ramadhan, yang diisi membersihkan makan, tabur bunga, bahkan kenduri di makam leluhur. (Red3/ed-wp). **