Scroll ke bawah untuk membaca
Example floating
Example floating
NarasiSejarah

Bidadari Turun Bumi: Rahasia Terbang Bidadari Versi Jawa Lama

884
×

Bidadari Turun Bumi: Rahasia Terbang Bidadari Versi Jawa Lama

Sebarkan artikel ini

Oleh : M. Dwi Cahyono (Arkeolog – Sejarahwan Nusantara)

Bidadari turunlah kau ke bumi Sapalah aku yang sedang sendiri
Bidadari dekaplah mimpiku
Berikan segala harum mewangi

Bidadari (bidadari) turunlah kau ke bumi
Sapalah aku yang sedang sendiri
Bidadari (bidadari) berikanku sentuhan
Warna-warni yang terindah

 Hingga sampai di suatu saat
 Kau 'kan menjadi milikku
 Hingga sampai di suatu saat
 Kau 'kan menjadi milikku
 ............

(Lirik lagu “Bidadari”, Sayap Laki)

A. Kisah-Kisah Bidadari Turun ke Bumi

Bidadari (Widyadari) dan Bidadara adalah salah satu makhluk selain Dewata penghuni Kaindran. Bisa dibilang bahwa Bidadari merupakan makhluk sorgawi yang dikisahkan acapkali turun ke bhumi (bumi). Sampai-sampai ada lirik lagu, seperti terkutip pada awal tulisan ini, yang menyatakan “Bidadari turunlah ke bumi”. Bagi bidadari, turun ke bumi adalah suatu kesenangan tersendiri. Turunnya ke bumi bukan senantiasa karenai mengemban perintah Dewa Indra seperti pada cerita kuno “Arjunawiwaha” dan cerita wayang “Bidadari Menaka”, namun menjadi semacam rekreasi untuk mandi di telaga seperti dalam cerita “Joko Tarub – Nawang Wulan”.

Ada sejumlah susastra lama, baik susastra literal, susastra oral (tradisi lisan), ataupun susastra visual yang mengkisahkan tentang bidadari turun ke bumi. Susastra tekstual kakawin “Arjunawiwaha” misalnya mengkisahkan mengenai ujuh bidadari yang diutus oleh Dewa Indra untuk turun ke bumi untuk menggoda tapa Arjuna di Gunung Indrakila. Kisah favorit di Masa Hibdu-Buddha ini cukup banyak pula kedapatan hadir pada susastra visual, yang berwujud relief candi, bahkan juga seni arca. Dalam bentuk susastra oral, kisah demikian antara lain kedapatan pada cerita bidadari Nawang Wulan dan rombongan yang turun ke ke bumi mandi di telaga, yang kemudian dilanjuti dengan kisah mengenai perkawinan Nawang Wulan dangan Joko Tarub.

Kisah “Arjunawiwaha” juga hadir sebagai lakon da- lam wayang kulit dan wayang orang (wayang wong) Jawa, yang kadang diberi judul lakon sebagai “Bhegawan Ciptaning”. Serupa dengan kisah itu, dalam wayang kulit kedapatan juga kisah tentang bidadari cantik mungil bernama “Dewi Menaka” untuk turun ke bumi guna menggoda tapa khusuk dari rsi sakti Wismamitra. Jika perkawinan Joko Tarub dengan Bidadari Nawang Wulan menurunkan Nawangsih (varian sebutan “Nawangsasi”) perkawinan antara Bidadari Menaka dengan Wiswamitra menurunkan Syakuntala, sebagaimana dikisahkan dalam roman klasik karya rakawi Kalidasa. Tergambarlah bahwa Arjuna, Wiswamitra maupun Joko Tarub merupakan contoh kasus tentang manusia yang beristri Bidadari yang dikisahkan turun ke bumi.

Baca Juga:  Upawasa, Tradisi Berpuasa dalam Berbagai Agama dan Keyakinan

B. Perangkat Bantu bagi Bidadari untuk Turun ke Bumi

Tempat tinggal dari Bidadari (yakni Kaindran, kah-tangan, nirwana) dan tempat tinggal dari manusia (yaitu bumi) merupakan dua alam (dimensi) yang berlainan dan berjarak amat jauh. Kaindran di konsepsi sebagai berada nun jauh di atas bumi. Oleh karena kediaman Bidadari itu berada di atas bumi, maka kepergiannya ke bumi disebut dengan “turun ke bumi”. Lantaran lokasi tempat semayamnya di “langit”, maka Bidadari dipersonifikasikan sebagai makhluk yang bisa terbang. Dalam mitologi Eropa, bidadari digambarkan sebagai yang mempunyai sayap, seperti sayap binatang unggas. Dengan dilengkapi sayap, maka Bidadari bisa terbang, baik buat turun ke bumi atau naik kembali ke tempat kediamnya di “langit tinggi”. Apakah bidadari di Nusantara juga dipersonifikasikan sebagai memiliki sayap?

Ternyata, masyarakat Jawa dari waktu ke waktu tidak mengkonsepsikan Bidadari sebagai makhluk yang bersayap. Jika tak bersayap, lalu bagaimana Bidadari bisa terbang? Berdasar gambaran pada relief maupun tradisi lisan, kemampuan terbangnya adalah berkat : (a) mengendarai awan, (b) meluncur pada lengkung pelangi, atau (b) mengenakan sampur (selendang). Sejumlah relief, misal dalam relief di Candi Borobudur dan relief di Goa Selamangleng Tulungagung, digambarkan tiga Bidadari tengah turun ke bumi dengan mengendarai awan. Tergambar bahwa Bidadari-Bidadari itu mengenakan sampur, yang mengingatkan kita pada sampurnya Bidadari Nawang Wulan, sebagai perangkat bantu untuk bisa terbang. Relief dinding sisi utara Goa Selamangleng itu memberi kesan bahwa arah luncur turunnya tiga Bidadari ke bumi dengan arah miring. Awan yang dikendarainya diberi bentuk seperti seekor ikan besar.

Baca Juga:  Pakar Politik Universitas Al Azhar: Draf RUU Polri Perlu Dikaji Ulang

Begitu pula pada dinding goa sisi selatan digambar- kan perjalanan Arjuna beserta bidadari Suprabha ke istana raja raksasa Niwatakawaca dengan mengen- darai awan berbentuk menyerupai ikan. Perjalanannya melintas di atas gunung api, perbukitan, hutan dan rawa-rawa, yang mengingatkan kepada paleo- ekologi Tulungagung selatan. Ada pula legenda lain bahwa turunnya para Bidadari ke bumi dengan cara memanfaatkan lengkung pelangi sebagai semacam “perangkat luncur”- nya menuju ke perairan (telaga), seperti tergambar pada kisah Joko Tarub – Nawang Wulan. Selain turun meluncur ke bumi mengunakan lengkung pelangi, para Bidadari juga melengkapi diri dengan perangkat terbang yang berupa sampur. Lantaran sampurnya dicuri dan disembunyikan oleh Joko Tarub, maka Nawang Wulan tak dapat terbang untuk kembali pulang ke Kaindran bersama dengan kawan kawannya. Pada kisah selanjutnya, setelah Nawang Wulan berhasil menemukan sampurnya di bawah timbunan untaian padi, dia pun bisa kembali terbang kembali menuju Kaindran.

Ada varian-varian kisah mengenai manusia yang te- ngah terbang, yang digambarkan pada relief candi. Dalam kisah “Ramayana” pada pagar langkan Candi Prambanan, Rahwana digambarkan tengah terbang mengendarai raksasa bersayap. Adapun Dewi Wina- ta dibawa terbang oleh anaknya, yaitu Garuda, yang berbentuk antropomorfis, yaitu manusia setengah burung. Ada pula yang terbang lantaran mengenakan perangkat bantu menyerupai bentuk kaki katak berukuran besar, seperti tergambarkan dalam relief di goa penghujung utara Selamangleng Kediri. Lain halnya dengan para Rsi yang digambarkan di relief jaladwara (pancuran air) di patirthan Sumber Tetek (Belahan), yang terbang tanpa menggunakan alat bantu terbang apapun untuk mencegah Candra (bu- lan purnama) yang hendak ditelaan raksasa (Rahu). Adapun di dalam pewayangan, Gatotkaca mampu terbang karena mengenakan busana “Kutang Onto Kusumo” .

Baca Juga:  Kontroversi di Balik Politisasi Program KIP Kuliah oleh Anggota DPR: Antara Manfaat dan Risiko

C. Ide Dasar dan Perangkat terbang Lintas Masa

Ide dasar “terbang” telah kedapatan amat panjang dalam sejarah peradaban manusia. Analogi dengan unggas memberi gambaran personifikasi mengenai bidadari yang memiliki sayap. Bahkan. Ada sejum- lah binatang mitologis yang pada dunia nyata tidak bersayap namun pada dunia mitologis mempunyai sayap, seperti singa bersayap, naga bersayap, kuda bersayap, raksasa bersayap, paksi-naga-liman, lem- buswana, dsb. Pada legenda Yunani Kuno terdapat pula kisah tentang Ikaros (Yunani : Ἴκαρος, Íkaros, Etruska : Vikare), yaitu putra Daidalos sang perajin ternama. Ikaros dan ayahnya dikurung di Kreta dan mencoba kabur dengan cara terbang dengan meng- gunakan sayap buatan Daidalos. Selain sayap alami ataupun sayap artificial (buatan) itu, ada sejumlah perangkat yang digunakan makhluk yang umumnya tidak bisa terbang menjadi mampu terbang, seperti sampur (selendang), kaki katak, Kutang Onto Kusumo, dengan mengendarai awan atau melymcuk di lengkung pelangi.

Ide dasar “terbang” terus berlanjut dan berkembang secara teknologis pada peradaban manusia dengan hadirnya : (a) baling-baling pada pesawat terbang, (b) penghembusan udara atau air dengan kekuatan yang amat kencang, (c) mengisi gas di dalam balon udara, dsb. Kemampuan terbang yang konon hanya hadir dalam dunia mitologis, pada perkembangannya hadir pula dalam dunia nyata. Bahkan, di zaman modern sekarang, kendaraan terbang menjadi alat transportasi udara yang penting serta bermanfaat. Demikianlah tulisan ringkas tentang bidadari yang terbang dengan mengendarai awan. Apakah anda ingin bisa terbang tinggi? Belajarlah pada bidadari. Nuwun.

Sangkaling, 17 Januari 2023
Griyajar CITRALEKHA

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *