Scroll ke bawah untuk membaca
Example floating
Example floating
BeritaLiterasi - WawasanSejarah

Hasil Riset, Istana Giri Kedaton Tempat “Pengukuhan” Raja-Raja Jawa Abad 15-17

1323
×

Hasil Riset, Istana Giri Kedaton Tempat “Pengukuhan” Raja-Raja Jawa Abad 15-17

Sebarkan artikel ini

Sekar Kedaton Menjadi Katalisator di Tengah Pertikaian Politik Elit Pasca Runtuhnya Majapahit

Warta Press, Mutiara Sejarah – Umumnya kita mengenal ulama besar yang dikenal dengan Sunan Giri ini adalah salah satu dari sembilan Wali (Wali Songo). Sejarah membuktikan, bahkan beberapa sejarahwan Barat mengakui bahwa Sunan Giri bukan hanya ulama melainkan seorang Sultan yang memimpin keraton berpengaruh yang terletak di atas gunung di Gresik (Giri Kedaton atau Sekar Kedaton).

Giri Kedaton, tidak hanya mengatur pengikut/masyarakat dalam teritorialnya dengan bijaksana, tetapi juga menjadi tempat penggemblengan santri yang kelak menjadi ulama-ulama berpengaruh dalam syiar Islam di Jawa dan hingga luar pulau Jawa. Bahkan, sejumlah literatur menjelaskan, Giri Kedaton merupakan istana “pengukuhan” para Raja sebelum memulai berkuasa. Banyak penguasa atau calon petinggi negari yang datang meminta restu dan doa dari Sultan Giri Kedaton. Para Raja dan Bangsawan Jawa memandang Giri sebagai simbol pengukuh, Suci, sekaligus sebagai perestu yang keramat.

Istana Giri Kedaton, telah berabad-abad menjadi lambang legitimasi agama dan politik bagi kekuasaan Jawa pasca era Majapahit. Menunjukkan bahwa “Kerajaan Langit” ini diakui sebagai katalisator di periode-periode yang sarat dengan konflik antar raja-raja tersebut. Pada masa jayanya, kesultanan Giri ini punya peranan penting dalam memediasi dan melahirkan resolusi konflik antara kerajaan-kerajaan Islam yang tumbuh mekar di Jawa pasca runtuhnya imperium maritim Majapahit.

Berikut ini merupakan ulasan sebuah dokumen hasil riset lama (1970-an) yang hingga kini tersimpan di Pesantren Luhur (Malang), terkait jejak sejarah Giri Kedaton (di Gresik, Jawa Timur), dan juga sejarah asal mula Sunan Giri, terutama yang berhubungan dengan peranannya dalam berdirinya Giri Kedaton. Dokumen riset ini menyimpan dokumentasi lama yang dapat memperluas wawasan kita terhadap sejarah keraton sekaligus pesantren berpengaruh sejak abad 15 hingga abad 17 ini.

Sarjana-sarjana Barat seperti H.J. de Graaf dan Samuel Wiselius yang menelitinya pada aspek yang lain, menyebut Giri Kedaton sebagai “Kerajaan Ulama” (geestelijke heeren) paling berpengaruh di Jawa Timur. Namun, dokumen penelitian tim bentukan dari pesantren Luhur ini lebih spesifik dan lengkap, dan observasi lapangan langsung ketika kawasan Giri Kedaton masuh belum banyak disentuh pemugaran.

Kita di era sekarang sudah memahami bahwa Giri Kedaton adalah komplek makam tokoh suci, dan juga merupakan situs penting dalam syiar Islam di Jawa Timur. Perjuangan Sunan Giri atau Raden Paku yang menempatkan basisnya di Giri Kedaton. Di sanalah Sunan Giri mengonsolidir jalan dakwahnya, mendidik para santrinya, membangun sumberdaya masyarakat zaman itu dalam ragam peristiwa besar yang menyertainya. Dan kemudian, di sana pula beliau dimakamkan. Pusaka-pusaka peninggalannya masih tersimpan aman di sana.

Riset ini dahulunya diinisiasi oleh KH. Achmad Mudlor, lalu dikerjakan oleh sebuah tim dalam kurun waktu lebih dari 2 tahun lamanya, dibawah pimpinan Kiai Mudlor sendiri, yang bersama tim menyelesaikan riset tersebut. Hasilnya menjadi landasan bagi pemugaran situs Giri Kedaton.

Penasehat tim riset terdapat nama besar seperti cendekiawan muslim Prof. Dr. HM. Koesnoe, SH, yang lebih dikenal sebagai pakar hukum adat; dan juga ada tokoh ulama NU berpengaruh berlatar belakang militer, Kyai H. Oesman Mansoer.

Dokumen dan arsip riset ini saat ini dimiliki Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang (LTPLM), dan dibuka untuk kepentingan sejarah dan literasi keislaman era Walisongo. Meskipun dalam ulasan wartapress.com ini belum mendalam dan detail, akan tetapi menjadi petunjuk awal untuk kajian selanjutnya, berdasarkan akses membaca naskah-naskah lama sejarah perkembangan Islam di tanah Jawa yang dimiliki pesantren Luhur Malang, termasuk informasi gambar Wali yang berhasil disalin dari arsip Belanda (gambar yang berbeda dari foto-foto di internet), namun belum dipublikasikan.

Penelitian Giri Kedaton ini dilatar belakangi banyak hal. Pada saat yang bersamaan, ada fenomena yang sedikit “ganjil” teramati ketika suatu hari Kiai Achmad Mudlor berziarah ke makam Sunan Giri di Gresik.

Kiai Mudlor dikejutkan dengan keberadaan makam seorang muslim Tionghoa yang dikubur di dalam kompleks pemakaman Giri Kedaton yang sakral tersebut. Menurut keterangan penjaga makam, pernah ada (1970 an) seorang muslim keturunan Tionghoa kaya dan sukses asal Surabaya yang masuk islam di situ. Ketika suatu waktu ia meninggal, wasiatnya minta dimakamkan dalam kompleks Giri Kedaton.

“Tolong nanti saya dimakamkan di pemakaman Sunan Giri, meskipun habis satu toko tidak apa-apa!” Ujarnya sebelum wafat.

Karena itu adalah amanah almarhum, maka anak-anaknya melaksanakannya. Sudah barang tentu akan susah dimakamkan di tempat yang dikeramatkan para muslim seperti ini. Akan tetapi, akibat lobby sana-sini dan mengurus persyaratan administrasi akhirnya wasiat almarhum bisa dilaksanakan, keturunan Tionghoa muslim tersebut akhirnya di makamkan di dalam areal Giri Kedaton.

Kiai Mudlor menyimak dengan seksama penjelasan penjaga makam. Pada saat yang sama, melihat betapa banyaknya orang-orang keturunan Tionghoa yang lalu lalang berkunjung ke makam saudaranya itu. Setiap waktu mereka ini datang berjubel seperti melakukan wisata religi ke makam Tionghoa di komplek Giri Kedaton.

Ternyata, telah berkembang luas keyakinan di kalangan mereka, bahwa banyak warganya yang mendadak kaya raya setelah ziarah ke makam tersebut.

“Wah, jangan-jangan pemakaman ini nanti akan menjadi Gunung Kawi kedua,” kata Kiai Mudlor merasa khawatir, makam bersejarah ini sudah mulai diidentikkan dengan dunia persugihan dan peruntungan.

Kiai Mudlor lalu membicarakan fenomena itu dengan berbagai pihak, terutama dengan pejabat berkuasa di Gresik, Provinsi Jatim, hingga pejabat militer. Intinya adalah, gelombang peziarah kalangan Tionghoa yang datang meminta “pesugihan” di makam Tionghoa dalam kompleks situs Giri Kedaton yang dikeramatkan umat Islam, harus dihentikan, tetapi dengan cara yang sesuai aturan yang berlaku.

Baca Juga:  Bareskrim Polri Bongkar Pabrik Produksi Oli Palsu di JATIM

Persoalan ini bergulir di Pengadilan, kasusnya dimenangkan keluarga Tionghoa. Mereka memegang dokumen perijinan dan admistrasi lainnya. Makam tetap berada di kompleks Giri Kedaton.

Kiai Mudlor dan rekan-rekannya tidak patah semangat. Tim berkumpul di rumah salah seorang pesohor Giri. Disanalah diputuskan, perwakilan tim akan menghadap Gubernur Jawa Timur kala itu (Mohammad Noer), yang terkenal bijaksana dan solutif bagi persoalan masyarakat Jatim.

Pagi buta, Kiai Mudlor datang ke Kantor Gubernur dengan mengendarai bus. Kebutulan Gubernur sedang di kantornya dan bersedia menemuni perwakilan dari Giri. Setelah selesai prolog tentang identitas dan sebagainya, terjadi dialog.

“Ada kepentingan apa?” tanya Gubernur Jawa Timur.

“Begini Pak, saya dan beberapa teman dari Giri Gresik sedang menghadapi permasalahan” jawab Kiai Mudlor.

“Permasalahan apa?”

“Ada makam Muslim Tionghoa yang dikuburkan di kompleks pemakaman Sunan Giri,”

“Lho, kok bisa?” Gubernur juga heran.

Kiai Mudlor menceritakan kronologi ceritanya persis dengan yang diceritakan penjaga makam waktu itu. Beliau juga menambahkan alasan tentang motivasi memindahkan makam Tionghoa, untuk kebaikan bersama.

“Saya khawatir pemakaman ini akan menjadi “Gunung Kawi” kedua Pak, saya Iihat banyak Tionghoa yang mengeramatkan makam saudaranya itu. Mereka datang kesana untuk meminta pesugihan. Saya dan pesohor lain sudah menuntutnya di Pengadilan, akan tetapi kita kalah sebab kita lemah secara hukum.

“Pihak Tionghoa telah mengurus semua administrasi-Yuridis pemakaman, kira-kira bagaimana solusinya pak?”

“Jadi seperti itu,”

“Iya pak, selain itu saya juga mengamati banyak terjadi Clash

Clash bagaimana?”

“Begini Pak, penduduk setempat banyak menemui Tionghoa melewati masjid memakai sepatu, kan mereka tidak mengerti kalau masjid itu suci, bukankah sebaiknya mereka tidak membawa najis masuk masjid, beberapa pihak Tionghoa ada yang tidak bisa menerima alasan itu, dari sini sering terjadi baku hantam antara penduduk setempat dengan Tionghoa. Kalau pengemis yang berceceran di area makam pastinya suka dengan kedatangan Tionghoa, mereka membawa ayam untuk sesajen sekaligus uang yang banyak,”

Sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja dan sesekali memegang jenggot, Gubernur memikirkan solusi yang harus diambil. Tak berselang lama, muncul pernyataan beliau yang ditunggu-tunggu,

“Begini, saya akan bantu dengan cara mengeluarkan Surat keputusan Gubernur Jawa Timur untuk memindahkan makam Tionghoa. Pihak Gubernur akan memberi ganti rugi sebesar tujuh juta untuk pihak Tionghoa,”

Pernyataan terakhir yang diungkapkan Gubernur Jatim membawa solusi kongkrit, sama-sama bisa diterima kedua belah pihak dengan lega. Pada masa itu Gubernur memiliki kewenangan yang luas terkait kebijakan tata wilayah, ijin pengelolaan dan penataan tempat bersejarah yang sudah menjadi ranah publik. Maka, makam Tionghoa berhasil dipindah, dan Giri Kedaton tidak lagi menjadi “arena pesugihan”. Giri Kedaton kembali utuh menjadi tempat ziarah makam Wali, untuk mengenang jejak perjuangannya, dan memetik spirit juangnya untuk menegakkan ajaran Islam yang selaras dengan budaya dan kearifan lokal.

Digagaslah rencana riset secara mendalam seputar sejarah Giri Kedaton. Tepatnya tahun 1972. Gagasan ini dikonsep oleh Lembaga Research DPM yang kebetulan koordinatornya adalah Kiai Mudlor.

Berawal dari gagasan itu, Kiai H. Achmad Mudlor bersama pengurus lain membentuk Susunan Pengurus Lembaga Research Islam Malang yang diketuai beliau sendiri. Beberapa pengurus yang terlibat adalah Kiai Bukhori Saleh LAS yang menjabat sebagai wakil ketua, bapak Wiyono di posisi sekretaris dan beberapa anggota lain dengan penasehatnya Prof. Dr. Moch. Choesnoe dan Kyai H. Usman Mansur. Semua inisiator diatas berdomisili di Kota Malang. Tentunya perlu anggota yang benar-benar paham medan untuk melakukan Research ini. Kiai Mudlor mengontak kembali warga Giri yang sudah aktif bekerjasama sebelumnya, dan mereka menyatakan bersedia.

Di Gresik, dibentuk Susunan kepanitiaan dengan nama Susunan Panitia Penelitian dan Pemugaran Sunan Giri yang diketuai oleh Achmad Khoiri Mustajib dengan pelindung TRI PIDA Kebomas.

Panitia Penelitian dan Pemugaran Sunan Giri bersama ulama dan tokoh masyarakat Giri, Gresik, terdapat juga nama-nama yang mendukung: Kyai H. Achmad Tarbin Muhajilin, Achmad Ma’sum, H. Gholib, Saikhan, M. Toha, Ikhwan, H. A. Zainuddin Iskandar, Achmad Choiri Mustajib, Abd. Rouf Ikhwan, M. Tauhid Mursalin, Moh. Syakir Sukran, Muallif Syuaib, Abd. Rosyad, Musfik, H. M. Rafii, H. Azhari, H. Ridwan Masyhadi, Kyai H. M. Basyir, Kyai H. M. Zuhri, H. Badawi, Kyai Masyhud, Kyai H. Abd. Muhit, Kyai H. M. Syukur

Riset ini memakan waktu 2,5 tahun. Dana yang diperlukan pastinya tidak sedikit. Salah satu dermawan yang bersedia menyisihkan dananya untuk kepentingan research adalah H. Ridwan, pemilik Toko Emas Persatuan dan termasuk orang terkaya di Gresik.

Hasil research menunjukan kronologi tersebarnya agama islam di pulau jawa. Tahap awal kepercayaan yang berkembang adalah animisme-dinamisme disusul Hindu-Budha.

Maulana Malik Ibrahim putra Ali Nuril Alim bin Jamaluddin Husein datang ke pulau ini tiga tahun lebih awal dari Raden Rahmatullah. Neneknya yang bernama Jamaluddin Husein memiliki putra yang bernama Ibrahim Al-Ghozi atau biasa disebut Ibrahim Asmoro-ayah Sunan Ampel dan Maulana Ishaq-ayah Sunan Giri.

Berdasar keterangan yang tertera dalam buku AI-Hadlir Al ‘alami Al-Islami, disebutkan bahwa agama Islam tersebar pada pertengahan abad ke-8 di daerah yang bernama Gharizik atau Gresik. Maulana Malik Ibrahim ditemani saudagar-saudagar lain menyebarkan agama Islam dengan cara damai. Kedatangan mereka sama sekali tidak dirasa berbahaya oleh raja Hindu atau Budha di tanah Jawa.

Baca Juga:  Tentara Australia Tiba di Indonesia, dalam Rangka Latgabma Super Garuda Shield 2023

Salah satu buktinya tertera dalam Babad Pangeran Diponegoro, “Maksud agama Islam den agama Budha sama benar, yang berbeda ialah peraturan-peraturan mengenai upacara-upacara agama itu. Tetapi hal ini tidak mengapa”. Pernyataan itu disampaikan oleh Brawijaya kepada Sayyid Rahmat dan Sayyid Rahman dari Campa. Sunan Ampel tiga tahun lebih awal berada di tanah Jawa daripada Maulana Ishaq. Telah disadari sulitnya menyebar pengaruh di daerah yang fanatik Hindu-Budha. Didapati beberapa wilayah bagian timur Jawa belum tersentuh ajaran Islam. Maulana Ishaq memutuskan menyusul saudaranya tiga tahun kemudian.

Pertama kali Maulana Ishaq mendarat di daerah Blambangan. Beliau dibingungkan dengan kondisi penduduk setempat yang mayoritas memeluk Hindu-Budha. Beliau bermunajat, memohon kepada Allah agar tujuannya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dipermudah. Do’a itu didengar oleh Allah dengan cara menurunkan wabah penyakit kepada penduduk setempat. Salah satu korbannya adalah putri kesayangan Menak Semboyo, Raja Blambangan. Bermacam usaha telah dilakukan agar putrinya kembali pulih namun hasilnya nihil. Sayembara digelar, barang siapa mampu menyembuhkan putri Menak Semboyo akan mendapat imbalan Yang tak ternilai harganya. Patih Baju Senggoro memandang ke arah Gunung Selangu tempat Maulana Ishaq bersembahyang. Tampak cahaya terang memancar dari gunung itu. Sang patih menceritakan kejadian yang dilihatnya kepada raja. Menak Semboyo memerintahkan anak buahnya mencari tahu ada apa dibalik cahaya yang memendar dari gunung tersebut.

Sesampainya disana, yang ditemui bukanlah cahaya melainkan Maulana Ishaq yang sedang bersembahyang. Anak buah Menak Semboyo memberi warta tentang adanya sayembara kepada Maulana Ishaq. Beliau menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara dengan syarat, jika Maulana Ishaq mampu menyembuhkan putri raja. Maka raja beserta seluruh penduduk Blambangan harus memeluk agama Islam. Alhasil, dengan bantuan Allah SWT, putri Raja Menak Semboyo memperoleh kesembuhannya. Maulana Ishaq lantas menikahi putri Raja Blambangan itu.

Dari pernikahannya, lahir Djokosamudro yang kerap dipanggil dengan sebutan Raden Paku atau Sunan Giri. Disebut Giri sebab kelak tanah yang ditempati menggembleng para santrinya berada diatas sebuah gunung (dalam bahasa sansekerta disebut Giri). Kelahirannya tidak diharapkan oleh sang kakek-Raja Menak semboyo. Ibunya memasukkan bayi Djokosamudro ke dalam peti lalu dibiarkan terseret gelombang laut. Salah seorang saudagar asal Gresik yang berlayar hendak berdagang ke negeri seberang menjumpai peti itu. Ingin ia acuhkan, namun kapal terus berputar pada porosnya dan tak bisa melaju lagi. Peti tersebut mereka pungut dan dibawa ke tempat majikannya di Gresik, Nyi Ageng Pinatih. Wanita ini kemudian menjadi ibu tiri Djokosamudro

Berdasarkan flashback historisnya, wali yang sekaligus pencipta gending asmorondono dan pocung ini berguru kepada Syekh Awwalul Islam di Pasai yakni ayahandanya sendiri. Setelah waktu belajar di Pasai dirasa cukup, Syekh Awwalul Islam memerintahkan beliau untuk kembali ke Giri Gresik dengan membawa segenggam tanah dari Pasai. Tanah ini dicocokkan dengan tanah yang ada di Gresik.

Pertama kalinya Sunan Giri mendatangi Gunung Lepit, lalu mencocokkan tanah yang dibawanya dengan tanah gunung itu, sama sekali tak sama. Kemudian beliau pergi mendaki Gunung Wangkai Mahesa atau Gunung Batang untuk mencari sumber air namun tak berhasil. Putra angkat Nyi Ageng Pinatih ini menuju Desa Beji dengan tujuan mencari sumber air sebagai pengobat dahaga. Disana beliau tidak menemui timba untuk mengambil air. Alhasil, Raden Paku menggulingkan sumur itu yang hingga saat ini berada dalam kondisi miring. Kejadian ini berdasarkan bukti sejarah yang ada tercatat pada bunyi candra sengkolo (penanggalan kuna) Sinong Muir: Toya Milipasucining Ratu yang berarti tahun 1402 Saka (1402 + 78 = 1480 Masehi).

Sunan Giri bermunajat meminta petunjuk Tuhan dengan bersemedi selama 40 hari di Gunung Wangkai Mahesa atau Gunung Batang. Tujuannya adalah agar diberi petunjuk dimana kiranya keberadaan tanah itu. Empat puluh hari berlalu, Sunan Giri berhenti bermunajat lalu naik ke Gunung Sari. Ditempat ini beliau melihat ke arah Ampel Surapringgo lalu melepas pandang ke arah barat. Di sebelah kanannya tampak kilatan sinar memancar dari arah gunung Sekar Kedaton. Dengan karomahnya, Sunan Giri seketika terbang menuju gunung tersebut.

Bersama dengan Khodimnya (Syekh Koja dan Syekh Grigis), Sunan Giri mencocokkan tanah yang dibawanya dengan tanah yang ada di Gunung Sekar Kedaton, tepatnya di daerah Sidomukti. Kedua tanah tersebut sama, baik dari warna maupun baunya.

Di tempat ini Sunan Giri mendirikan masjid sekaligus kampus untuk menggembleng para santri. Peristiwa tersebut terjadi tercatat pada bunyi Candra Sengkolo Jowi Sinong Muir: tinggali luhur dodi ratu, atau tahun 1403 Saka (1403 + 78 = 1481 Masehi).

Setelah mendirikan kampus, para santri Sunan Giri mengalami kesulitan untuk mendapatkan air. Beliau lantas mengajak para santri untuk bermunajat pada Allah agar memperoleh petunjuk lokasi sumber air. Tidak lama setelah itu, sumber air diketahui berada di timur laut Gunung Sekar Kedaton.

Sunan Giri memerintahkan untuk menggali tanah sesuai dengan petunjuk yang sudah di dapat. Memang benar, lubang galian itu mengucurkan air cukup deras. Telaga ini lantas diberi nama Telaga Pegat. Proses penemuan Telaga Pegat ditandai dengan candra sengkala lain yang berbunyi telaga pegat padusoning wong atau tahun 1401 Saka (1401 + 78 = 1479 Masehi).

Para santri Sunan Giri yang berasal dari Pati (Jawa Tengah) sedikit kecewa sebab mereka tidak terlibat dalam proses penggalian Telaga Pegat. Tidak ada niat diskriminasi, akan tetapi mereka memang datang setelah penggalian. Mereka masih dalam perjalanan menuju Sekar Kedaton ketika penggalian berlangsung.

Baca Juga:  Himawan Probo Maju Caleg Kota Blitar dari Partai Nasdem

Sunan Giri tidak ingin mengecewakan niat baik para santrinya itu. Beliau lalu memerintahkan mereka untuk menggali satu telaga lagi yang dinamai Telaga Kembar. Telaga ini selesai di gali pada tahun saka Sinom Milir Suci Rurup Tats Kabeh atau tahun 1406 Saka (1406 + 78 = 1488 Masehi).

Prabu Satmoto. Prabu Satmoto, Nama lain dari Djoko Samudro menggembleng para santrinya di Gunung Sekar Kedaton. Ini adalah penemuan baru Lembaga Research beserta Panitia Pemugaran Makam Sunan Giri. Gunung ini merupakan Kampus Sunan Giri yang asli dan belum terkuak keberadaannya sebelumnya. Beberapa tulisan yang terpahat di gunung memakai Bahasa Kawi. Untuk menerjemahkannya, tim Research Sunan Giri mendatangkan ahli bahasa Kawi asal Solo, Komari.

Selain tulisan yang terpahat di Gunung Sekar Kedaton, beberapa sumber sejarah juga ditemukan utamanya dalam bentuk buku. Abah Mudlor beserta anggota Tim Research menggali beberapa tempat sesuai petunjuk yang tertera dalam buku yang diterjemahkan Komari. Buku itu semacam peta wilayah yang menunjukkan lokasi bangunan.

Berpuluh tahun Gunung Sekar Kedaton tak dirawat dan tidak pula disadari keberadaanya oleh penduduk setempat. Kondisi bangunan yang tertutup gundukan tanah akhirnya digali. Salah satu bekas bangunan yang tampak adalah Masjid Sekar Kedaton. Masjid ini dipugar mewah setelah kegiatan Research selesai.

Disebutkan pula dalam buku itu terdapat pemakaman. Setelah digali, pemakaman tersebut hanyalah persembunyian pembunuh para petinggi Gresik pada zaman Belanda. Pada masa penjajahan, ada eksekutor gelap terhadap pejabat atau Bupati yang pro Belanda yang tidak terdeteksi identitasnya sampai sekarang. Untuk mengelabuhi penduduk, ia membangun kuburan imajiner sebagai tempat persembunyian. Isu atau (mungkin) fakta pembunuhan misterius ini menimbulkan resah penduduk setempat yang berujung pada tidak adanya warga Gresik yang berani mencalonkan diri sebagai Bupati pada zaman penjajahan tersebut. Kabupaten ini berubah menjadi kawedanan. Baru setelah Belanda kembali ke negara asalnya, Indonesia merdeka, dan kondisi sudah aman, Gresik kembali menjadi kabupaten, situasi kembali kondusif.

Sekar Kedaton adalah bukti sejarah Sunan Giri dalam menggembleng santri-santrinya sekaligus berda’wah mensyi’arkan agama. Kepedulian dan rasa antusias tim Research dalam menyumbangkan tenaga dan pikirannya adalah hal yang luar biasa hebatnya. Tanpa penelitian yang dilakukan, mungkin saja artefak-artefak sejarah Sunan Giri masih terpendam bahkan akan hilang seiring dinamika zaman. Saat ini Para pembaca muslim cukup menikmati perjuangan waliyullah, Sunan Giri, dalam buku Sejarah Dakwah Sunan Giri yang terbit bulan Agustus 1974. Kerja keras yang memberi maslahah bagi umat. Kiai Mudlor, selaku inisiator dan anggota tim Research Sunan Giri dihormati warga Giri atas jasanya.

Lembaga Riset Pesantren Luhur Islam Malang menguak kampus Sunan Giri yang asli ini melalui tulisan yang terpahat di gunung memakai bahasa Kawi. Beberapa sumber sejarah lain yang ditemukan adalah sebuah buku, dari situlah Abah Mudlor beserta Tim Research menggali beberapa tempat yang tertera dalam buku yang berbentuk peta tersebut. dari penggalian bangunan yang sesuai lokasi di peta, terdapat penemuan bekas Masjid Kedaton, dan menginisiasi pemugaran setelah research selesai.

Sekar Kedaton adalah bukti sejarah dakwah perjuangan Sunan Giri dengan mensyiarkan agama Islam melalui pendidikan pesantren. Tanpa adanya riset ini mungkin artefak sejarah tersebut masih terpendam atau bahkan tenggelam oleh zaman. Dan hal ini pun tidak terlepas dari peran tim peneliti, selaku pengungkap banyak fakta sejak diadakannya riset tersebut.

Tak dipungkiri bahwa Pengaruh Lembaga Riset Pesantren Luhur Islam dalam upaya pemugaran lokasi Pesantren Sunan Giri sangatlah besar. Karena lembaga inilah yang menginisiasi terlaksananya pemugaran ini. Dengan bantuan masyarakat sekitar makam Sunan Giri, Pemerintah Kota Gresik, Lembaga Riset Islam Malang dan pihak-pihak terkait lainnya, pengumpulan dan pendokumentasian fakta sejarah yang hampir dilupakan dapat diungkap kembali.

Selain hal tersebut, asal mula sejarah gambar Wali Songo didapat oleh Prof. Dr. Moch. Koesnoe selaku Guru Gesar Faculty of Law di Universitas Leiden Belanda dan juga penasehat Lembaga Riset Pesantren Luhur Islam Malang. Setelah perbincangan dengan Kiai Mudlor, beliau sepakat untuk membawa potret gambar wali yang terdapat di Museum Netherland. Hasil foto tersebut diserahkan kepada tim riset, baru setelahnya dapat digandakan dan gambar Wali Songo mulai tersebar luas di Indonesia.

Hasil dari riset Sunan Giri ini terdokumentasi dalam buku ilmiah terbitan Lembaga Riset Pesantren Luhur Islam dengan Judul “Sejarah Perjuangan dan Dakwah Islamiyah Sunan Giri” dengan adanya buku ini tentunya warisan luhur bangsa Indonesia terjaga kelestariannya dan dapat dijadikan sebagai ibroh yang menjadikan umat manusia menjadi lebih baik di masa depan.

Sumber Rujukan :

Kasdi, A. 2005. Kepurbakalaan Sunan Giri (Sosok Akulturasi Kebudayaan Indonesia Asli, Hindu-Budha dan Islam Abad 15-16). Unesa University Press: Surabaya

Sholicha, L. 2011. Mujtahid, Mujaddid, Mujahid (Percikan Perjalanan Spiritualitas dan Intelektualitas Profesor Dr. Kyai H Achmad Mudlor, SH). Pustaka Luhur. UNISLA Press. Lamongan

Sunyoto, A. 2016. Atlas Walisongo (Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah). Pustaka IIman. Depok

Lembaga Research Islam Pesantren Luhur Malang, “Sejarah dan Da’wah Islamiyah Sunan Giri” (Gresik : Panitia Penelitian dan Pemugaran Sunan Giri, 1973). hlm 37.

Tim Penyusun Buku Sejarah Hari Jadi Kota Gresik. 1991. KOTA GRESIK Sebuah Perspekstif Sejarah dan Hari Jadi. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II : Gresik.

(Sumber: Diolah berdasarkan ijin dan materi terbitan Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang, yang menyimpan arsip-arsip hasil riset Giri Kedaton tahun 1972-1974).

Gerbang Giri Kedaton zaman lampau sebelum dipugar. Gambar ini diambil saat riset tim pesantren Luhur yang dipimpin Kiai H. Achmad Mudlor tahun 1973. / dok. LTPL Malang.
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *