WartaPress.Com, Inovasi – Rumah Prestasi Glintung Go Green (3G), bisa dibilang lumbung gagasan, rumah ide, dan wahana penggerak, bagaimana membangun kampung secara holistik, dalam konteks yang relevan dengan kondisi alam, iklim dan sosio-kultural bangsa Indonesia. Yaitu membangun manusianya atau warga (sebagai subjek perubahan) melalui pemberdayaan, dan membangun lingkungan fisik dalam tindakan nyata melalui skema gotong royong warga. Dari, oleh dan untuk warga.
Kita sedang memasuki era baru yang disebut Society 5.0, yaitu era “super smart society” dimana segala aspek terdigitalisasi, big data, reality-metaverse (dunia nyata dan maya), kecanggihan sistem informatika abad Revolusi Industri 4.0, kecerdasan artifisial (AI), smartphone (dunia dalam genggaman), namun tetap menempatkan manusia atau masyarakat sebagai aktor utama peradaban. Masyarakat adalah subjek pembangunan, harus menjadi aktor perubahan dan penggerak utama roda zaman yang tak tergantikan oleh teknologi atau mesin.
Masyarakat kampung, mau tak mau harus mampu beradaptasi dengan perubahan zaman ini. Narasi besar inilah yang akan mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote.
Awal Mula Program
Adalah Ir. Bambang Irianto, warga kampung Glintung yang pada penghujung tahun 2012, terpilih menjadi Ketua Rukun Warga (RW) 23 di kampungnya, Glintung Gang IV, Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur. Sebuah kampung kecil nan padat penduduk, yang berada di bawah permukaan jalan raya kota terbesar kedua di Jawa Timur.
Kampung tersebut termasuk kawasan padat penduduk, pemukiman kota yang terdapat lorong-lorong gang sempit, dan di beberapa sudut menjadi sasaran rutin genangan air, banjir kala musim hujan. Sebagaimana umumnya pemukiman padat penduduk di negeri yang plural ini, kampung Glintung penuh dinamika sosial dan lingkungan yang sulit diurai: ketidakseimbangan tata kelola lingkungan, kohesi sosial yang belum sempurna, masalah kebersihan, kesehatan, dan sejumlah permasalah umum yang tipikal di setiap kampung padat penghuni.
Sang Ketua RW, Bambang Ir (begitu sapaan akrabnya), merenung, mengkaji keadaan, melakukan maping kondisi sosial yang ada, menganalisa berbagai kemungkinan masa depan yang bakal dihadapi masyarakat kota dengan segala keruwetan sosial yang ada, dan lalu mengukuhkan tekadnya: tiba saatnya bertindak. Kalau tidak sekarang, kapan? Dan kalau bukan kita, siapa lagi?
Lahirlah ide: Glintung Go Green. Sebuah program untuk mengangkat kualitas kampung dalam segala sektor, yang disebutnya “gerakan membangun kampung secara holistik”. Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya.
Terdapat sejumlah masalah yang teridentifikasi, yang juga umumnya sedang dihadapi kampung-kampung di Indonesia:
Pertama, tata kelola lingkungan yang tidak memadai. Yang menimbulkan sejumlah masalah: kegersangan, kekumuhan, infra struktur kampung yang tidak siap menghadapi bencana dan lain-lainnya. Sehingga, harus kita akui, kampung-kampung padat penduduk amat rentan bencana, ekonomi yang rapuh, sanitasi umum yang tidak memenuhi standar kesehatan, produktivitas warga yang minim dan berbagai problem lingkungan lainnya. Krisis multi-sektor (apalagi ada faktor pemicu ke hal yang negatif) lama kelamaan dapat menjadi “api dalam sekam” di tengah kehidupan sosial kampung yang damai.
Kedua, meskipun warga kampung tampak guyup dan hidup tenang, tapi sesungguhnya kohesi sosialnya belum sepenuhnya berjalan. Prinsip hidup bersama, bergerak bersama secara kompak untuk tujuan kolektif, belum terjadi secara maksimal. Seringkali, warga kampung hanya turun gotong royong pada saat menjelang acara-acara resmi kenegaraan (seperti menjelang peringatan 17 an), atau ketika kampung menyambut lomba kebersihan antar kampung/desa. Jadi, kohesi sosial belum menjadi tradisi pakem di kampung-kampung.
Ketiga, sinergi dan kolaborasi antar stakeholder belum berjalan baik. Semua masih formalistik. Antara pemerintah daerah, perangkat daerah terkait, institusi pendidikan, badan usaha milik daerah, lembaga swadaya masyarakat, media massa, unsur kepemudaan dan lainnya, belum ada instrumen yang dapat menyatukan mereka dalam suatu program yang utuh dan visioner untuk membangun kampung. Cenderung masih bergerak sendiri-sendiri, atau satu mengikuti lainnya secara sporadis.
Keempat, kesadaran kolektif warga. Bahwa tidak semua warga memiliki kemauan atau inisiatif membangun lingkungan di luar area rumahnya. Tidak semua warga kampung memiliki kesadaran untuk bersama-sama membangun kampung berdasarkan musyawarah bersama, bertindak bersama untuk meraih tujuan bersama. Padahal, syarat mutlak untuk suksesnya kebangkitan kampung adalah terbangunnya kesadaran kolektif internal masyarakat kampung. Individualisme di tengah keramaian publik merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa ini, di era kejayaan smartphone ini.
Kelima, budaya gotong royong kampung. Gotong royong adalah ikon nilai yang amat fundamen di bangsa ini. Tapi banyak fakta, bahwa selama ini, gotong royong lebih banyak digerakkan oleh instrumen formal, melalui perangkat RT, RW, Karang Taruna, Posyandu, Pokdawis, PKK dan lainnya. Cerderung normatif pada agenda-agenda terbatas tak berkesinambungan, dan seharusnya unsur pelibatan warga diperluas hingga “rumah ke rumah” dan kewajiban gotong royong kampung berlaku untuk seluruh warga tanpa terkecuali.
Keenam, kampung minim inovasi. Inovasi masih seakan milik kalangan “elit” dan jatah ekslusif dunia industri mainstream. Citra kampung yang terlanjur identik dengan kekumuhan dan ruang yang sempit, kebanyakan jarang dilirik sebagai basis berinovasi, dan pola pikir seperti ini dapat menutup lahirnya gagasan kreatif dan inovatif memajukan kampung dari dalam kampung sendiri. Inilah salah satu pekerjaan yang berat, bagaimana merubah mindset warga, bagaimana membangun keyakinan, bahwa kampung juga bisa menjadi basis produksi, menjadi tempat belajar, menjadi kawasan wisata kreatif, menjadi kawasan urban farming modern, menjadi kawasan edukasi UMKM/UKM, dan sejumlah prospek lainnya, yang hanya dengan kesadaran kolaborasi dan semangat inovatif pasti dapat terwujud.
Ketujuh, SDA dan SDM kampung. Masyarakat kampung terdiri dari berbagai macam latar belakang pendidikan, keahlian, bakat dan ide. Potensi kampung ini tidak dapat terbuka dan saling melengkapi jika tidak ada yang menggerakkan. Lalu apa SDA kampung? Disinilah tantangannya, bahwa apapun yang dimiliki kampung, yang paling minim sekalipun, dapat dikreasi menjadi potensi yang dapat mengangkat derajat ekonomi warga (sebagaimana yang kelak berhasil dilakukan Rumah Prestasi 3G). Kekurangan tidak boleh membuat kampung jadi lemah, sebaliknya harus mampu dikonversi menjadi peluang untuk menjadi kuat dan besar.
Sukaduka Memulai Program 3G
Pertama-tama, Ketua RW Bambang Ir berkeliling kampungnya, berbicara dengan tokoh dan warga, menyosialisasikan gagasan membangun kampung 3G. Ada yang merespon baik, ada yang setengah dan juga pasif. Mungkin juga ada yang tidak respek. Belum ada hasil. Tapi ini adalah awal, dan biasanya memulai sesuatu yang besar itu akan menghadapi tantangan yang tidak ringan.
Ketua RW 23 ini lalu mengagendakan rapat-rapat warga di balai RW, memaparkan seluruh tahapan pelaksaan membangun kampung 3G: dari identifikasi masalah, tahapan pelaksanaan, bagaimana membangun kemitraan dengan pihak luar kampung, inovasi-inovasi hingga target-target. Belum ada hasil juga yang sesui harapan. Rapat diulang lagi dan lagi. “Prestasi” pertama Ketua RW adalah Ketua RW yang “hobi rapat”.
Upaya RW sudah dilakukan tetapi belum efektif. Padahal sebagai tahap permulaan program ini adalah: diawali dengan agenda bersih-bersih lingkungan dan Penghijauan (Penanaman tumbuhan, bunga di masing-masing pekarangan rumah, dilanjutkan dengan di lorong gang), tetapi secara masif. Semua warga kampung diharapkan kompak melakukannya.
Merubah mindset warga dengan cara yang out of the box
Akhirnya, Ketua RW merubah strategi, dengan membuat “Peraturan Kampung” atau Perkam Nomor sekian tahun sekian tentang Tata Cara Pelayanan Publik di lingkungan RW 23. Perlu diketahui, kala itu (dan sekarang beberapa masih) berlaku aturan pembuatan Surat Domisili warga, Surat Nikah, Kelahiran, SKTM (umumnya untuk pengajuan beasiswa / dispensasi biaya pendidikan), membuat/perubahan KTP/KK dan surat keterangan apapun yang berhubungan dengan dukcapil -diwajibkan mendapatkan keterangan tertulis yang distempel – ditandatangani oleh RT dan RW.
Ide “Perkam” ala Glintung ini menarik jika kita sadari bahwa RT / RW merupakan bagian dari instrumen negara yang paling dekat dengan masyarakat, sehingga juga berhak membuat “hukum” tertulis yang sesuai dengan kondisi objektif masyarakat bawah.
Mengacu kepada peraturan RW 23 Glintung, maka setiap warga kampung yang ingin mendapatkan tandatangan dan stempel RW 23, diwajibkan menanam (atau menambahkan) minimal 1 tanaman di pekarangan rumahnya sendiri. Jika syarat itu dipenuhi maka RW siap memberikan layanan publik yang cepat dan bila perlu Ketua RW siap memberikan pelayanan keliling. Dua kali ingin mendapatkan layanan administrasi RW maka 2 tanaman harus ditanam di rumahnya masing-masing. Begitu seterusnya. “Stempel RW” dan “tanda tangan Ketua RW” menjadi alat “bargaining” pada warga yang sulit diajak menanam.
Rupanya, cara baru ini diprotes juga. Ketua RW 23 disebut otoriter, kaku, peraturan yang aneh dan lainnya. Ketua RW teguh pada keputusannya, setiap warga yang ingin mendapatkan layanan stempel dan tanda tangannya, wajib menanam tumbuhan di halaman rumahnya masing-masing.
Saat yang sama Ketua RW juga memberikan contoh dengan merimbunkan pekarangan rumahnya sendiri, dan ikut menanan di spot-spot area kampung. Kemudian, rapat-rapat tetap dilanjutkan, dan (ini faktor signifikan) Ketua RW23 keliling dan bersurat ke berbagai pihak seperti Kelurahan, Kecamatan dan Perguruan Tinggi, agar hadir di kampung Glintung turut serta membangun kampung.
Setiap perjuangan butuh proses, dan tidak ada usaha yang mengkhianati hasil. Perlahan-lahan, timbul kesadaran kolektif warga. Menanam dan mempercantik pekarangan menjadi kebiasaan baru. Gang – gang kampung mulai bersih dan tertata apik. Gerakan menanam dan merawat, sebagai langkah awal pun berjalan baik. Bahwa menanam dan merawat lingkungan itu bukan kewajiban, tapi kebutuhan.
Munculnya kesadaran gotong royong menjadi modal sosial untuk berlanjut ke tahap selanjutnya, yaitu manajemen pengelolaan sampah, limbah dan membangun sumur resapan. Persampahan dan limbah kampung disinergikan dengan Bank Sampah Malang (BSM).
Warga pun memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya langkah antisipasi bencana akibat perubahan iklim, seperti banjir kota, polusi, dan krisis air. Kampung menjadi kawasan yang pro-klim.
3G Menjadi Kampung Konservasi Air Pertama Dunia.
Ketua RW bersama warga melauncing program kampung konservasi air bersama gerakan yang disebut “water banking movement”, gerakan menabung air hujan. Ratusan sumur biopori mulai dari ukuran kecil (kaleng cat kecil), ukuran sedang hingga sumur biopori ukuran jumbo (kaleng cat besar atau ember bekas), di tanam di sejumlah tempat seperti halaman rumah, lorong gang dan ruang publik. Ahli yang menguasai bidang itu didatangkan.
Salah satu yang hadir menyumbangkan ilmunya untuk gerakan menabung air dan mengantisipasi banjir ini adalah, pakar Air Bawah Tanah (ABT) Prof. Dr. Ir. Muhammad Bisri, M.S, Rektor UB periode 2014-2018. Guru Besar dan Pakar ABT ini memberikan temuannya tentang teknik membuat Sumur Injeksi yang kemudian diterapkan di kampung Glintung. Bahkan, sudah banyak daerah yang menerapkan hal sama setelah studi banding di kampung 3G.
Tahap berikutnya adalah, menerapkan konsep kampung agro inovasi. Bahwa warga kampung perlu memahami kerentanan negeri akan krisis pangan, kelangkaan komoditi tertentu dan harga gejolak pasar. Maka warga harus memanfaatkan setiap ruang kosong di pekarangan rumahnya untuk ditanami sayur mayur seperti sawi, kol, bayam, bawang, cabai dan lainnya. Ada banyak ahli yang bisa membagikan tutorial menanam dengan wahana pot, kaleng bekas bahkan botol plastik. Di sini, warga kampung dapat hidup sehat, nyaman dilingkungan yang bersih dan produktif. Seberapapun yang bisa ditanam, pasti berdampak pada ketahanan pangan warga kampung. Hal besar sesungguhnya dimulai dari lingkup yang kecil.
Sampai disini, kampung berubah menjadi kawasan hijau, indah, rapi, sehat dan kreatif. Potensi banjir dapat dikurangi dan kohesi sosial terjalin kuat. Inilah modal sosial untuk menaiki tangga selanjutnya.
Geliat pembangunan kampung yang digalakkan Bambang Ir, bersama gotong royong warga, kemudian mengundang perhatian luas dari banyak kalangan: media massa, kampus, pemerintah daerah, tokoh publik, artis, pejabat negara, BUMN, dan bahkan pegiat lingkungan dari luar negeri. Mereka takjub, dengan kemandirian kampung dari ide hingga inovasinya. Cara pandang mereka tentang kampung berubah.
Kehadiran banyak pihak inilah yang menambah motivasi warga, membuat kampung 3G mendapatkan publikasi luar dari media massa dan media sosial. Lama kelamaan, 3G menjadi kampus wisata alternatif edukatif yang ramai dikunjungi. Gelombang studi banding datang dari berbagai penjuru tanah air.
3G bermetamorfosa menjadi kampung wisata. Dikunjungi orang dari berbagai penjuru negeri, dijadikan kawasan studi banding pemda Bupati, Walikota, menjadi laboratorium alami untuk riset mahasiswa. Menjadi “milenial garden” bagi kaum milenial-GenZ yang hobi selfie. Menjadi pustaka bagi siapapun yang mau belajar.
Beberapa Capaian Kampung 3G adalah:
▪︎ Lingkungan yang bersih, rapi dan hijau. Seiring waktu, aspek estetika diterapkan. Warga kampung bebas mengekspresikan daya kreatifnya.
▪︎ Sanitasi kampung yang ditingkatkan kualitasnya, dan keberadaan biopori, sumur resapan dan sumur injeksi mengurangi dampak banjir dan menjaga kelembaban udara. Diperkuat oleh kehadiran pemerintah yang lebih intens.
▪︎ Penerapan urban farming warga yang disertai edukasi hidroponik (cara membuat dan teknik penggunaan).
▪︎ Zona kreatif yang terdiri dari taman-taman bunga yang dibangun dan dikreasi memanfaatkan sampah limbah, namun estetik untuk spot selfie kaum muda GenZ. Di sini, sampah dapat menjadi sahabat manusia.
▪︎ Terbangunnya sistem dan budaya gotong royong menjadi jiwa dari estetika fisik kampung yang diciptakan. Kerjabakti bukan lagi jadi agenda formalitas, namun kebutuhan bersama.
3G menjadi kawasan menarik dari aspek fisik (terdapat spot yang instagramable) dan juga dari aspek sosial (pola pemberdayaannya dapat dijadikan bahan studi banding). Sehingga terjadi link and match. Pihak luar kampung yang pro lingkungan hadir menawarkan peran: mulai dari ide, ilmu, tutorial, teknologi, CSR hingga regulasi. Zona gotong royong telah diperluas.
Dari proses link and match dan kolaborasi itulah, kampung 3G menjelma menjadi kampung inovatif yang adaptif terhadap kondisi lingkungan, dan selaras dengan era Society 5.0, yaitu era dimana segala aspek terdigitalisasi, big data, kecanggihan sistem informatika abad Revolusi Industri 4.0, kecerdasan artifisial (AI) namun menempatkan manusia tetap sebagai aktor utama peradaban.
Berikut ini Data dan Fakta Kampung 3G, pada Fase Kemajuannya:
▪︎ Menteri Dalam Negeri RI, Tjahjo Kumolo meresmikan kampung konservasi Glintung Go Green (3G) (2017). Kehadiran Mendagri jelas berdasarkan kajian dan pertimbangan bahwa gerakan kampung 3G layak dijadikan percontohan.
▪︎ Kampung Konservasi Air yang baru pertama kali ada di Indonesia dan dunia, membuat Ketua MPR RI Zulkifli Hasan penasaran dan langsung menyambangi Kampung Hijau Glintung Go Green di RW 23 Purwantoro Blimbing, Jawa Timur, bahkan dirinya mengaku terkesan dengan kreatifitas ketua RW 23 dalam pemanfaatan air hujan (2017).
▪︎ Penggagas 3G, Bambang Ir masuk sebagai 72 ikon prestasi pada Festival Prestasi Indonesia yang diselenggarakan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP, sekarang BPIP RI). Apa yang dilakukan Ketua RW ini lewat kegiatan gotong-royong dan inovasi sebagai simbol pengamalan Pancasila (2017).
▪︎ Hasil penjurian di Bogota, Kolombia pada tanggal 11 s.d 14 Oktober 2016 yang dilakukan secara paralel dalam rangkaian the 5th UCLG World Congress (Kongres Dunia Persatuan Pemerintah Lokal/Kota) Kampung Glintung Go Green telah menyisihkan banyak inovasi dari kota-kota besar di dunia yang ikut berkompetisi dalam Guangzhou International Award for Urban Innovation. Inovasi dari kampung Glintung yang diberi nama Water Banking Movement yang lebih populer dengan gerakan menabung air masuk dalam 15 Inovasi Perkotaan Terbaik tingkat dunia. Bambang Ir mendapat kesempatan hadir presentasi langsung di Tiongok.
▪︎ Direktur Jenderal Hubungan Hukum Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN), Sarmono dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Malang, Rabu mengemukakan Kampung 3G layak menjadi contoh reforma agraria perkotaan (2017).
▪︎ Inisiator Kampung 3G Raih Penghargaan Kalpataru 2018, Kategori Pembina Lingkungan. Penghargaan Kalpataru diserahkan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya kepada Bambang Irianto di Bitung, Sulawesi Utara 29 Agustus 2019.
▪︎ Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof. Dr. Hariyono, M.Pd, secara langsung meresmikan Kampung Glintung Go Green Kota Malang sebagai Pusat Pelatihan Membangun Kampung Berbasis Gotong Royong, Selasa (28/7/2020).
▪︎ Guru besar Departemen marketing, innovation and organization, Ghent University, Belgia, Prof. Hendrik Slabbinck kunjungi 3G. Ini merupakan bagian dari MoU antara Glintung Go Green dengan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) yang penandatanganan MoU nya terlaksana di Rumah Prestasi Glintung Go Green Jalan Karya Timur Dalam II, Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Jumat (12/11/21).
▪︎Wamen ATR, Surya Tjandra, kunjungi kampung 3G, Sebut Kampung Glintung Malang Bisa Jadi Contoh Nasional (2020).
▪︎ Ir. Bambang Irianto mendirikan Rumah Prestasi Glintung Go Green, sebagai wahana belajar, kajian, pembinaan dan memotivasi lahirnya kampung-kampung berdaya. Rumah Prestasi 3G ini juga mendampingi Kampung “Wonosari Go Green” sebagai replikasi dari kampung Glintung Go Green.
▪︎ Sejak sukses kampung 3G, Bambang Ir melakukan penyuluhan dan menggerakkan bangkitnya kampung-kampung di berbagai pelosok Indonesia, dan telah melahirkan berbagai kampung tematik yang terinspirasi dari kampung 3G. Kini masih diundang keliling Indonesia melakukan pendampingan membangun kampung.
▪︎ Menginisiasi berdirinya Kampung Tematik Indonesia (KTI), yang kini sudah berjejaring nasional, dan saling berbagi pengalaman membangun kampung.
Apa yang menjadi pelajaran penting dari kiprah Bambang Ir bersama Rumah Prestasi Glitung Go Green adalah:
• Kampung modern harus mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan yang terjadi di masa depan: perubahan iklim, bencana alam, krisis air dan pangan, krisis energi dan krisis sosial.
• Membangun kampung harus dimulai dari merubah mindset warga, membangun jiwanya, agar lahir kesadaran kolektif, budaya gotong royong dan rasa tanggungjawab dalam bermasyarakat.
• Gotong royong harus menjadi budaya yang membumi di masyarakat, lahir dari bawah dan berkesinambungan.
• Faktor kepemimpinan (mulai dari RT hingga Presiden) amat berpengaruh dalam membangun perubahan. Pemimpin harus kuat, tegas, berintegritas, responsif dan mau berada di tengah-tengah masyarakat.
• Masyarakat kampung harus terbuka menerima masukan, kreatif dan berinovasi sesuai perkembangan zaman.
• Membangun kampung harus holistik: mulai dari mindset warga, tata lingkungan, estetika, SDM, sektor ekonomi, kreativitas, kesehatan dan lainya.
• Sinergi dan kolaborasi antara warga kampung, pemerintah, swasta, lembaga pendidukan, NGO, media dan seluruh elemen publik, akan sangat menunjang kebangkitan kampung. Pada kampung yang sudah berdaya seperti 3G atau kampung replikasinya, kehadiran pemerintah akan lebih mudah dan proses sinergi lebih cepat diaplikasikan.
• Kampung dapat menggali potensi lokalnya, mengkreasinya, kemudian mengangkatnya sebagai ikon sehingga dapat dikembangkan menjadi kampung tematik.
• Kampung tematik dapat menjadi salah satu alternatif wisata edukasi, dan saling berbagi pengalaman dengan sesama kampung tematik.
• Meraih prestasi diperlukan untuk motivasi, namun bukankah menjadi tujuan utama.
• Jika seluruh kampung di Indonesia sama-sama bangkit, berdaya dan saling membangun jaringan kampung, berbagi potensi, link and match antara satu sama lain, maka suatu saat negeri ini akan menjadi gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo.
Demikianlah gambaran singkat perjalanan, sukses story Ir. Bambang Irianto bersama Rumah Prestasi 3G, tokoh kampung yang punya gagasan besar untuk kemaslahatan masyarakat kampung. Tokoh yang rela berkeliling nusantara, memasuki realitas kehidupan sosial arus bawah, dalam rangka turut “Membangun Negeri dari Lorong Kampung”. (Lam/wp). **