Oleh: Nashwa Virginia Putri (Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya)
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam produksi film horor dengan beberapa film yang telah mendapatkan pengakuan internasional dan lokal. Berbagai faktor telah membuat Indonesia menjadi tempat yang subur bagi produksi film horor, termasuk kekayaan mitologi dan budaya lokal yang memberikan inspirasi untuk cerita yang unik. Beberapa film horor Indonesia yang terkenal dan memiliki rating tinggi di IMDb (Internet Movie Database), yaitu Keramat (2009), Pemandi Jenazah (2024), Pemukiman Setan (2024), dan Ronggeng Kematian (2024). Film-film tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kualitas yang cukup baik dan menarik perhatian dari penonton lokal maupun internasional. Selain itu, industri perfilman Indonesia memiliki potensi yang besar dalam memproduksi film horor dengan cerita yang menarik karena memiliki keahlian dalam menciptakan atmosfer yang mencekam dan menegangkan, serta menggabungkan unsur budaya.
Selain mengaitkan dengan budaya lokal, film horor Indonesia sering kali mengaitkan unsur-unsur agama dalam ceritanya. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan simbol-simbol agama, seperti ritual keagamaan, tokoh-tokoh spiritual atau konsep-konsep kepercayaan yang memperkuat atmosfer mistis dalam film. Penggunaan unsur-unsur agama ini dapat memberikan kedalaman pada cerita serta memperkuat rasa takut dan ketegangan yang ingin disampaikan kepada penonton. Namun, hal ini juga seringkali memicu kontroversi, terutama dalam hal penggambaran agama dan keyakinan keagamaan yang sensitif bagi sebagian masyarakat. Beberapa film horor Indonesia bahkan dianggap kontroversial karena dianggap melecehkan atau menyimpang dari ajaran agama tertentu yang kemudian menimbulkan perdebatan antara pro dan kontra di kalangan penonton dan kritikus film.
Belakangan ini sedang ramai di sosial media timbulnya kontroversi terkait salah satu film horor Indonesia yang mengaitkan unsur agama dengan judul “Kiblat”. Film “Kiblat” menjadi subjek kontroversi karena dikritik oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah, Cholil Nafis, yang menyebutkan film tersebut tidak boleh tayang di bioskop. Kritik tersebut didasarkan pada poster film yang disebut seram dan judul yang menyangkut arah kiblat yang menurutnya bisa dianggap sebagai upaya negatif terhadap ajaran agama. Cholil Nafis juga mengekspresikan kritik terhadap rumah produksi Leo Pictures yang menurutnya menggunakan promosi sensitif dan kontroversi agar menarik perhatian dan banyak penonton.
Sinopsis dari film “Kiblat” mengisahkan seorang perempuan bernama Ainun yang tinggal di sebuah kampung bersama kakak dari orang tuanya. Ia tidak mengetahui siapa orang tua kandungnya. Dalam film ini, Ainun mengagumi sosok pemimpin sebuah padepokan di Kampung Bumi Suwung yang bernama Abah Mulya. Abah Mulya digambarkan sebagai orang yang “sangat sakti” karena dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mampu menggandakan uang. Singkat cerita, ia meninggal dunia dan Ainun baru mengetahui bahwa Abah Mulya adalah ayah kandungnya. Ainun memutuskan untuk mencari tahu tentang Abah Mulya di padepokannya. Dalam proses pencariannya, Ainun justru menemukan hal-hal yang mengganjal, diantaranya di sana tidak pernah ada orang yang azan dan salat. Dari sinilah Ainun menyadari bahwa sosok yang ia kagumi yaitu ayahnya justru mengajarkan kesesatan dan menjauhkannya dari kiblat. Ainun lantas berusaha melepaskan diri dari aliran sesat tersebut.
Seorang kritikus film, Hikmat Darmawan, mengatakan bahwa penggunaan agama dalam film tidak hanya terjadi dalam genre horor, tetapi juga dalam drama religi. Hal ini disebabkan karena film-film dengan tema agama, baik yang mengandung unsur horor maupun drama masih diminati oleh penonton dan bisa menghasilkan keuntungan besar. Para produser kemudian membuat film-film sejenis dengan memanfaatkan minat masyarakat terhadap agama yang semakin lama pembuatannya makin kurang terkontrol. Menghadapi kritik tersebut, produser film “Kiblat”, Agung Saputra, mengakui bahwa judul dan poster film tersebut telah menimbulkan salah paham di kalangan berbagai pihak. Ia berjanji untuk mengganti poster dan judul film tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa film-film yang menggunakan agama sebagai bahan eksploitasi seringkali menimbulkan kontroversi dan membutuhkan respons yang serius dari produsen dan masyarakat.
Kaitan film horor Indonesia yang mengandung unsur keagamaan dapat dilihat dengan menggunakan kacamata filsafat agama. Filsafat agama merupakan sebuah penyelidikan filosofis yang mendalami tema-tema dan konsep-konsep utama dalam tradisi keagamaan. Sejak zaman kuno, manusia telah mempertimbangkan makna dan implikasi dari keyakinan keagamaan mereka,yang tercermin dalam tulisan-tulisan tertua yang membahas masalah filosofis ini. Filsafat agama tidak hanya membahas eksistensi Tuhan atau konsep-konsep teologis, tetapi juga mencakup pemikiran tentang etika dalam konteks agama, hubungan antara iman dan rasionalitas, serta refleksi tentang peran dan makna sejarah agama dalam pengembangan pemikiran manusia. Filsafat agama juga memiliki hubungan erat dengan cabang-cabang filsafat lainnya, seperti metafisika, epistemologi, dan etika, karena membawa pemahaman yang mendalam tentang sifat realitas, batasan pengetahuan manusia, dan prinsip-prinsip moral yang mendasar.
Hal ini dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu sudut pandang positif dan sudut pandang negatif. Dari sudut pandang positif sendiri, film yang mengaitkan unsur keagamaan dapat dianggap sebagai sarana untuk menyampaikan pesan moral atau ajaran agama kepada masyarakat. Film-film ini mungkin mencoba untuk menggambarkan konsep-konsep agama seperti kebaikan, kejahatan, karma, atau kekuatan supranatural dengan cara yang dramatis agar mempengaruhi penonton secara emosional dan spiritual. Filsafat agama dapat membantu untuk memahami bagaimana film-film ini mencoba untuk mengkomunikasikan nilai-nilai agama dan moral kepada penonton.
Sementara itu jika dilihat dari sudut pandang negatif, beberapa orang melihat film horor Indonesia yang menggunakan unsur keagamaan sebagai bentuk eksploitasi terhadap kepercayaan dan ketakutan spiritual masyarakat. Mereka berpendapat bahwa film-film ini memanfaatkan agama sebagai alat untuk menciptakan sensasi atau keuntungan finansial tanpa memberikan penghormatan yang cukup pada nilai-nilai keagamaan yang sebenarnya. Filsafat agama dapat digunakan untuk mempertanyakan motif dan tujuan di balik pengunaan unsur keagamaan dalam film tersebut serta bagaimana dampaknya terhadap persepsi dan praktek keagamaan masyarakat.
Secara keseluruhan, hubungan antara film horor Indonesia dan filsafat agama mencerminkan kompleksitas interaksi antara budaya populer, nilai-nilai agama, dan pemahaman individu terhadap keduanya. Perdebatan ini mencerminkan pentingnya filsafat dalam menganalisis dan memahami berbagai ekspresi budaya dan agama dalam masyarakat modern. Film horor seringkali menjadi cerminan dari ketakutan dan kekhawatiran kolektif masyarakat yang seringkali terhubung dengan aspek spiritual dan metafisik. Filsafat agama membantu untuk memahami bagaimana konsep-konsep agama dan spiritualitas tercermin dalam karya seni seperti film. Selain itu, Perdebatan mengenai film horor yang mengandung unsur keagamaan juga mencerminkan dinamika antara kebebasan berekspresi dan penghargaan terhadap nilai-nilai agama yang sensitif dalam masyarakat. Dengan demikian, filsafat agama memiliki peran penting untuk membantu merespons serta memahami perubahan budaya dan nilai-nilai spiritual dalam masyarakat modern. (*).