Warta Press, Sejarah Dangdut (Bagian-1) – Tidak banyak referensi yang menulis masa-masa awal lahirnya musik dangdut. Tapi untungnya masih ada peneliti yang mencoba menelusuri sejarah asal mula genre musik yang paling populer se Nusantara ini.
Profesor musik dari University of Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, Andrew N. Weintraub, pernah melakukan riset yang cukup mendalam tentang musik dangdut di berbagai daerah di Indonesia. Ia berhasil mendapatkan banyak dokumen lama seputar sejarah asalmula musik yang identik dengan rakyat bawah ini.
Hasil risetnya kemudian dibukukan dengan judul “Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesian’s Most Popular Music“, diterbitkan oleh Oxford University Press, Inc, New York, USA. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia; terbitan Gramedia, 2012.
Istilah Dangdut dikatakan bermula dari sebutan untuk tiruan suara gendang “dang-dut” atau apa yang disebut chalte, yang nanti akan diulas lebih jauh. Oplosan berbagai genre dan alat musik: India, Arab, Barat dan Melayu, diyakini sebagai proto-dangdut. Bentuk awal dari musik dangdut.
Leluhur Melayu musik dangdut adalah orkes keliling yang melawat dari Malaya (Malaysia) ke Pulau Sumatera dan Pulau Jawa sekitar tahun 1890-an, dengan nama stambul, bangsawan dan opera (Weintraub, 2012, 38). Orkes-orkes jadul tersebut memainkan repertoar campuran musik Melayu, Tionghoa, India, Timur Tengah dan Eropa.
Industri musik perlahan berkembang dan akses pemasaran semakin meluas. Musik Melayu yang berupa cakram piringan hitam merambah Sumatera era 1930 an. Radio adalah medium terpenting untuk penyebarluasan rekaman musik populer pada 1930-an (Weintraub, 2012).
Di antara sekian banyak jenis musik yang disiarkan di radio zaman itu, orkes Melayu salah satu yang paling diminati, selain dari orkes harmonium dan orkes gambus. Menurut Profesor Weintraub, ketiga jenis musik inilah yang membangun pondasi dangdut. Gabung dari tiga jenis musik itulah yang kemudian jadi embrion lahirnya musik dangdut.
Orkes Harmonium (O.H) mencakup harmonium, biola, terompet, gendang, rebana, dan kadang-kadang tamborin. Musik ini memainkan campuran musik Melayu, Arab, India, dan Eropa. Nama-nama seperti, Husein Bawafie dan S.M. Alaydroes adalah musisi beken OH pada zaman itu.
Orkes Gabus, merupakan orkes yang bernuansa padang pasir, yang menonjolkan gambus. Diperkirakan, musik gambus dibawa ke Nusantara oleh imigran dari Hadramaut (Yaman). Instrumennya adalah: gambus, harmonium, biola, suling, bas betot, rebana dan tamborin. Syech Albar adalah salah satu musisi orkes gambus yang terkenal era 1930-an. Musik ini sangat populer di Jawa, seperti Surabaya dan sekitarnya.
Orkes Melayu (O.M), sudah mengudara melalui radio pada tahun 1930-an. Instrumen musiknya: biola, suling, bas, piano dan gendang. Syairnya didominasi pantun-pantun khas Melayu. Band-band yang mucul lebih banyak dari Medan, Jakarta dan Surabaya.
Pada era 1940 an band OM mulai menggunakan gitar akustik, dan tahun 1950 an industri rekaman telah berkembang lebih maju. Musik mulai dipublikasikan media massa yang meluas pasca kemerdekaan. Biduan jadul seperti Suhaimi, Nur’ain dan Hasnah, amat populer. Disusul Said Effendi (OM Irama Agung), Umar Fauzi (OM Sinar Medan), Umar Alatas (OM Chandraleka) dst.
Lagu era 1960-an seperti “Seroja” dan “Semalam di Malaya” yang dibawakan bintang ibukota Said Effendi (pria keturunan Arab asal Bondowoso, Jawa Timur, yang mahir Mengaji sejak kecil). Pada zaman itu, saking tenarnya Effendi dengan lagu Seroja nya, Malaysia mengadakan audisi penyanyi mirip Said.
1960 an dangdut yang kental bercorak India berkembang pesat. Antara lain karena kampanye “anti imperialisme” Amerika yang digaungkan Bung Karno. Film dan musik dari Barat di bredel oleh Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS). Band terkenal, Koes Plus dipenjara karena musiknya dinilai bercorak Barat.
Namun, stasiun radio gelap sedang mewabah, oleh para mahasiswa di Jakarta, yang tetap menyiarkan lagu-lagu Barat seperti Elvis Presley. Meski demikian, orkes Melayu tetap menjadi musik arus utama. Penggunaan gendang sudah semakin biasa bagi band Orkes Melayu. Pola beat chalte dari kendang itulah yang melahirkan istilah dangdut.
Tahun 1970-an industri rekaman lebih diminati, bersamaan dengan meluasnya sinyal radio, panggung musik dan kemunculan penyanyi – penyanyi baru yang lebih modern dan bergaya. Kebiasaan goyangpun telah diperkenalkan.
Dangdut semakin menemukan bentuk khasnya, dengan semakin terbiasanya penggunaan “chalte” atau “calte” dari gendang sebagai irama pengiring: Tak-tung, Dang-dut. Tak-tuk, Dang-dut. Dari situlah lahir genre dan istilah dangdut yang dipahami secara luas oleh masyarakat. **
Bersambung…