Warta Press, Narasi Bangsa – Ulama, intelektual yang terkenal dengan pemikiran inklusifnya, Ulil Abshar-Abdalla mengingatkan akan bahayanya “Cancel Culture” yang dewasa ini semakin meluas dan muncul di permukaan.
Gus Ulil lalu membuat utas melalui akun Twitternya @ulil, pada Senin (06/2/2023, yang dikutip lengkap berikut ini:
UTAS: Bahaya cancel culture
(Ulil Abshar-Abdalla)
- Ada yg mengikuti kontroversi JK Rowling yg terjadi pada Juni 2020, dan masih berlanjut hingga sekarang, soal isu transgender?
Saya sendiri mengikuti agak intense karena saya memiliki keprihatinan terhadap dampak2 buruk dari “cancel culture”.
- Ada dua kubu dlm kontroversi ini: Kubu JK Rowling (penulis serial Harry Potter itu) dan lawan2nya. JK Rowling berpandangan bahwa “sex is real”; bahwa jenis kelamin itu jelas, laki2 atau perempuan.
Lawan2nya mengatakan: ada jenis kelamin lain, yaitu “non-binary sex”.
- “Non-binary sex” artinya orang2 yg tidak masuk dlm kategori lama laki2-dan-perempuan. Mereka inilah yg disebut sekarang sebagai transgender. Mereka menyeberangi kategori lama. Ada orang2 yg membawa “tubuh laki2” tetapi tidak nyaman dg itu lalu memilih sebagai perempuan.
- Ada yg membawa “tubuh perempuan” kemudian tidak nyaman dg itu dan memilih sebagai laki2. Mereka ini bisa disebut sebagai orang2 yg mengalami “sex dysphoria” atau ketidak-jelasan kelamin.
Jumlah orang2 yg mengalami dysphoria ini sekarang meningkat. Entah kenapa.
- Mungkin tak tepat dikatakan “meningkat”. Yang tepat: gejala sex dysphoria ini sudah ada sejak dulu tetapi tersembunyi di balik karpet karena dlm konteks masyarakat lama, hal2 seperti ini umumnya tidak bisa diungkapkan. Dlm masyarakat yg terbuka seperti skg, ini bisa diungkap.
- Dlm masyarakat tradisional yg memegang nilai2 konservatif, kaum transgender kurang mendapatkan tempat untuk muncul dg identitas mereka sendiri. Mereka terpaksa sembunyi di balik kloset. Saat ini, sudah mulai ada ruang yg terbuka, meskipun, jujur, yg menentang masih dominan.
- Kembali ke kontroversi JK Rowling tadi. Saat Rowling menyatakan bhw “sex is real”, bahwa jenis kelamin itu jelas (laki atau perempuan), dia mendapatkan serangan hebat dari banyak kalangan. Banyak yg kecewa dan bahkan menganjurkan untuk membakar novel Harry Potter.
- Bintang2 yg dulu memerankan film Harry Potter juga terbelah dua: ada yg mendukung Rowling, ada yg mengkritik dia. Daniel Radcliffe dan Emma Watson termasuk yg mengkritik Rowling. Sementara Evanna Lynch (yg memerankan Luna Lovegood dlm film HP) mendukung Rowling.
- Evanna Lynch yg mendukung Rowling juga terkena serangan hebat dari netizen pendukung hak2 transgender. Ini memaksa Lynch untuk menutup akun Twitter.
Debat di medsos soal isu ini membuat sebagian netizen menggunakan bahasa2 yg kasar, bahkan ancaman terhadap Rowling.
- Di sini, menurut saya, terdapat bahaya yg serius dlm apa yg disebut “cancel culture”, yaitu budaya membungkam orang2 yg memiliki pendapat yg beda. Di masyarakat Barat saat ini, terutama di Amerika dan Inggris, cancel culture itu marak bukan main. Menyedihkan.
- Gejala cancel culture ini juga sudah menjalar di mana2, termasuk di Indonesia. Budaya ini kemudian melahirkan fenomena yg di Amerika sering disebut “culture war”, perang budaya. Yaitu perang yg timbul karena benturan nilai/budaya dan masing2 pihak ingin agar nilainya dominan.
- Asal mula cancel culture ini adalah apa yg disebut politik identitas. Di sini yg disebut “identitas” bukan sekedar agama, melainkan lebih luas: suku, ras, kelamin, dll. Dalam culture war, identitas dijadikan senjata untuk menyerang kelompok yg berbeda, “liyan”.
- Dalam culture war terjadi apa yg disebut “weaponizing the identity”, pemersenjataan atau menjadikan identitas sebagai senjata untuk menyerang.
Di sinilah pokok masalah serius dari cancel culture itu; masing2 pihak hendak mendominasi pihak lain yg berbeda.
- Apa yg hilang dlm cancel culture ini adalah apa yg disebut oleh Evanna Lynch sebagai rasa simpati (sense of grace) dan kemampuan mendengar pihak lain. Dlm cancel culture, masing2 pihak hanya mau mendengar suaranya sendiri. Masing2 pihak merasa paling benar (self-righteous).
- Yang salah dlm cancel culture ini adalah hasrat pada semua pihak untuk menjadi kubu yg dominan seraya merendahkan yg lain. Ada hasrat kuasa di sana, bukan sekedar hasrat untuk diakui saja (rekognisi). Jika sekedar ingin diakui, sudah tentu tidak akan terjadi budaya ini.
- Saya melihat gejala cancel culture ini sudah menjalar ke Indonesia. Contoh yg gampang: debat antara kaum salafi dan lawan2nya. Yang salafi meng-cancel lawan2nya, begitu juga sebaliknya.
Situasi seperti ini jelas tidak ideal. Pelan2 kita harus berusaha keras menghindarinya.
- Tidak gampang mengatasi cancel culture ini, apalagi di era medsos yg membuat semua orang bisa mengemukakan sudut pandangnya scr terbuka dan blak2an, kadang malah melukai hati pihak yg berbeda pendapat.
Ini tantangan peradaban yg tak gampang ke depan. Selesai.
“Ada kasus cancel culture yg baru terjadi di Amerika. Novac Djokovic, petenis no. 1 saat ini, dilarang masuk AS untuk ikut turnamen Indian Wells yg dimulai hari ini. Alasannya: karena belum vaksin. Ini tampaknya lebih ideology driven ketimbang alasan yg science based,” tulis Ulil. **