Oleh : M. Dwi Cahyono (Arkeolog – Sejarahwan Nusantara)
A. Varian Sebutan dan Kandungan Maknanya
Dalam bahasa Jawa ngoko ada sebutan “poso (påså)” untuk apa yang pada bahasa Indonesia dinamai “puasa” — yang istilah kraminya adalah “siyam”.
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “puasa” diartikan sebagai (1) menghindari makan, minum, dsb. dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan); (2) salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, serta segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari; saum (KBBI, 2002).
Kata “puasa” dalam bahasa Indonesia itu mempunyai kedekatan dengan kata “påså” di dalam bahasa Jawa. Keduanya hanya berselisih huruf “u”, namun menun pada perbuatan yang sama. Dalam bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan, juga terdapat kata “pasa”, yang secara harafiah berarti: jerat, perangkap, ikatan, kekangan, ran- tai (Zoetmulder, 1995:786). Kata gabung “pasa-bandha (pasa + bhanda)” berarti: ikatan, jerat, perangkap, kekangan. Sedangkan kata gabung “pasabrata (pasa + brata)” menunjuk arti : kelakuan (kewajiban) menggunakan rangkaian (dalam penggunaan kekuatan kerasnya). Berkait dengan ibadah puasa, arti : kekangan atau ikatan menunjuk kepada kekangan terhadap hawa nafsu, seperti halnya arti kata di dalam bahasa Arab “saum”, yakni : menahan, mencegah.
Selain itu, dalam bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan terdapat kata serapan dari bahasa Sanskreta, yaitu kata “upawasa”, yang secara harafiah berarti: puasa (sebagai kewajiban religi untuk melakukan pantangan terhadap perasaan nikmat, seperti wewangian, bebungaan, hiasan, sirih, musik atau tetabuhan, tartarian, dsb.), pantang terhadap makanan, minuman, dsb. pada umumnya (Zoetmulder, 1995:1344). Kata jadian “(m)opawasa” berarti: berpuasa. Istilah ini kedapatan dalam Udyogaparwa (79), Sarasamuccaya (266.3, 284.2), Lubdhaka (37. 1), Kandawawanadahana (7.13), Brahmanda-purana (91), Agnipurana (389), Sumanasantaka (16.1), dan Abhimanyuwiwaha (12.17). Istilah
“upawasa” inilah yang oleh banyak orang dinyatakan sebagai muasal dari kata “puasa” daam bahasa Indonesia upawasa –> puasa, yang dalam bahasa Jawa Baru dinyatakan dengan “påså”.
Ada pula kata krami dalam bahasa Jawa Baru untuk “påså”, iaitu “siyam”, yang kuang jelas asalnya. Apakah merupakan perubahan dari kata Arab “saum (صوم)”?, yang secara harafiah berarti : menahan atau mencegah, yakni puasa bagi orang Islam, dalam bentuk menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari, dengan syarat tertentu, untuk meningkatkan ketakwaan seorang muslim. Puasa (saum) merupakan salah satu dari lima Rukun Islam. Disamping dalam arti :puasa, kata “påså” juga menunjuk kepada bulan ke-9 dalam penanggalan Jawa, yang di dalam penanggalan islam biasa disebut bulan “Ramadhan (رمضن)”, yang berada setelah bulan Ruwah (Sya’ban) dan sebelum bulan Sawal. Bulan ini disebut “bulan Pasa”, karena pada bulan inilah umat muslim diwajibkan berpuasa .
B. Ragam Bentuk dan Maksud Berpuasa
1. Ibadah Puasa dalam Ajaran Islam
Ibadah puasa (saum) dalam “bulan suci (holy month)” Ramadhan adalah ibadah wajib (fardlu). Bahkan, merupakan salah sebuah “rukun”, tepatnya rukun yang ke-4, diantara “Lima Rukun Islam”, yang terdiri atas : (1) mengucapkan syahadat, 2) mengerjakan salat, (3)mengeluarkan zakat, (4) mengerjakan puasa bulan Ramadhan, maupun(5) menunaikan ibadah haji bagi yang mampu. Sebagai “ibadah wajib”, saum di bulan Ramadhan dilaksanakan sesuai dengan perintah Allah SWT dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 183, 184, 185 dan 187. Surat Al-Baqarah (2: 183) :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ,
bacaan Latinnya : “Yā ayyuhallażīna āmanụ kutiba ‘alaikumuṣṣi- yāmu kamā kutiba ‘alallażīna ming qablikum la’allakum tattaqụn”, artinya “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Ayat 187 menyebutkan pula mengenai waktu pelaksanaan puasa, yakni dimulai dari terbit fajar hingga datang waktu malam atau terbenam matahari.
Ibadah puasa (saum) pada agama Islam terdiri atas : (1) saum fardu (puasa wajib), berupa : (a) saum satu bulan penuh pada bulan Ramadhan. Saum wajib lainnya adalah (b) saum (karena) nazar; (c) saum Kifarat, yaitu puasa denda; dan (d) saum Qodho, yakni puasa mengganti puasa. Adda pula saum-saum yang lainnya masuk kategori (2) puasa sunah (puasa yang tidak di- wajibkan, tetapi dianjurkan), seperti : (a) saum Syawal, yaitu puasa 6 hari di bulan Syawal selain hari raya Idul Fitri; (b) saum Arafah tanggal 9 Dzulhi- jah bagi orang-orang yang tak menunai- kan ibadah haji; (c) saum Tarwiyah tanggal 8 Dzulhijah bagi orang-orang yang tidak menunaikan ibadah haji; (d) Saum Senin dan Kamis, (e) saum Daud, yaitu sehari berpuasa, sehari tidak, yang bertujuan untuk meneladani puasa Nabi Daud; (f) saum Tasu’a bulan Muharram tanggal 9, sebelum menjalankan Saum ‘Asyura; (g) $aum ‘Asyura pada bulan Muharram tanggal 10, (h) saum 3 hari pada pertengahan bulan (menurut kalender islam, Yaumul Bidh), tanggal 13, 14, dan 15; (i) saum Sya’ban (Nisfu Sya’ban) pada awal pertengahan bulan Sya’ban; (j) saum bulan Haram (Asyhurul Hurum), yaitu di bulan Dzulkaidah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.
2. Ragam Puasa di Kalangan Kejawen
Itulah macam-macam saum di kalangan muslim, baik saum kategori wajib (gardu) ataupun saum yang dianjurkan (sunah). Disamping para penganut Islam, puasa juga dilakukan oleh umat dari agama-agama lain maupun penganut keyakinan. Warga Jawa tertentu, yang disebut penganut keyakinan “Kejawen”, paling tidak me- ngenal 18 jenis puasa, yaitu puasa mutih, ngeruh, ngebleng, pati geni, ngelowong, ngrowot, nganyep, ngidang, ngepel, ngasrep, wungon, Senen Kemis, tapa jejeg, lelana, tapa kungkum, ngalong, ngeluwang, dan weton. Berikut penjelasan untuk jenis-jenis puasa tersebut, seperti (a) puasa apit weton, yaitu puasa di hari kela- hiran (weton) ditambah sehari sebelum dan sehari sesudahnya; (b) puasa pati geni puasa, dengan menghindar melihat sinar (cahaya), tak makan, minum mauoun tidur; (c) puasa mutih, berpantang makan dan minum apa saja kecuali nasi putih dan air putih: (d) puasa ngowot, menahan diri untuk tidak mengkonsumsi nasi dan semua makanan yang terbuat dari beras selama waktu tertentu. Yang dikonsumsumsi adalah : sayuran, buahan, umbian, singkong, sagu, dan jagung. Pantangan lainnya dalam puasa ngrowot adalah tidak boleh tidur selama menjalani tirakat ini.
Serupa dengan pasa ngrowot, perdapat yang dinamai (e) puasa ngeruh, yakni puasa dengan hanya memakan sayur, buahan, dsb. serta mi- num air mentah; (f) puasa ngidang, yang sahur dan bukanya hanya memakan dedaunan hijau serta minum air sumur yang jernih (bisa juga air hujan atau air pegunungan yang mengalir); (g) puasa ngelowong, dilakukan selama 3 jam, 6 jam, setengah hari, atau hingga sehari penuh, dengan menghindari makan dan minum, juga tidak boleh memikirkan hal- hal lain secara berlebihan; (h) puasa ngasrep, hanya boleh makan tiga suap nasi dan minumnya hanya boleh tiga teguk air putih bening; (i) puasa kelahiran anak, yaitu puasa pada waktu kelahiran anaknya atau hari lain dalam rangka memohonkan agar putranya menjadi orang yang baik dan sukses; (j) puasa ngebleng, yakni puasa dengan tanpa makan dan minum sama sekali minimal 3 hari tiga malam; (k) puasa wungon adalah puasa yang dikerjakan dengan tidak makan, minum, dan tidur dalam beberapa waktu tertentu; (l) puasa ngalong adalah puasa yang ini dilakukan dengan cara tidak tidur selama minimal 3 hari mulai sejak Ashar hingga Ashar pada hari ke- tiga; (m) puasa lelono mempersyaratkan pelakunya untuk berjalan di malam hari; (n ) puasa tapa jejeg tidak boleh duduk ataupun jongkok selama kurang lebih 12 jam, harus berdiri de- ngan kaki tegak ke atas (jejeg); dan (o) tapa (poso) kungkum, yaitu ritual yang dilakukan sambil berendam di dalam air (kungkum) dan pelakunya tak boleh makan ataupun minum.
Bagi pelaku puasa Kajawen, puasa adalah wujud dari tirakat. Yang dimaksud dengan tirakat adalah menahan hawa nafsu (spt berpuasa, berpantang) (KBBI, 3002). Tujuan tirakat dalam hal supranatural adalah mengasah. Jika diibaratkan, do’a, mantra atau amalan adalah sebuah pisau, maka apabila pisau ini diasah setiap hari lama kelamaan akan menjadi tajam jika digunakan. Selain itu, puasa serupa dengan tapa, sehingga kata “puasa” dan “tapa” acap disebut berangkai, seperti “puasa tapa jejeg”. Demikian pula, “tapa kungkum” ada yang menyebuti dengan dengan “pasa kungkum”. Puasa-puasa tersebut diatas adalah kreasi orang Jawa, yang tak ada tuntunan dalam Islam, sehingga tidak perlu ditelaah dari sudut tinjauan saum (puasa) pada ajaran Islam. Hanya saja, sama-sama me- maka sebuatan “puasa (pasa)”.
3. Ibadah Puasa pada Agama-Agama Lain
Sejatinya puasa itu tidak hanya terdapat pada agama Islam. Pada agama-agama lain juga ada praktik ritual yang menyerupai saum di dalam Islam. Perihal adanya ritual wajib berpuasa se- belum era Rasulullah Muhammad SAW (570– 632 M.) tergambar di dalam Al-Quran Surat Al- Baqarah ayat 183 pada kutipan kalimat ” ….. diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajib- kan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Meski berbeda cara dan sebutannya, namun terdapat pratik-praktik ritual pada bebagai agama yang maksud dan tujuannya serupa dengan puasa dalam Islam. Bahkah tak sedikit pula yang cara berpuasanya memperlihatkan adanya persamaan. Gambaran mengenai persamaan itu menjadi dasar untuk mendefinisikan puasa — dalam arti luas sebagai : tindakan sukarela dengan berpantang dari makan, minum, atau keduanya; perbuatan buruk: serta dari segala hal yang membatalkan puasa untuk periode tertentu. Biasanya durasi waktu berpuasa adalah sehari (24 jam), namun bisa juga hingga beberapa hari. Puasa dilaksanakan dengan membatasi makanan atau zat tertentu. Selain itu, puasa menghalangi aktivitas seksual dan lainnya pada saat menjalani ibadah puasa.
Ada puasa yang dilakukan dalam rangka menu- naikan ibadah, namun ada juga yang dilaksanakan di luar kewajiban ibadah. Misalnya, puasa buat tingkatkan kualitas hidup spiritual dari seseorang. Puasa demikian sering diketemukan pada diri pertapa atau rahib. Inti maksud dan tujuan berpuasa adalah pengekangan diri terhadap sebuah keinginan yang dilarang untuk mencapai sebuah tujuan. Puasa dijalankan oleh beberapa agama yang ada di dunia. Walau beda cara, namun inti maksud dan tujuannya sama, yaitu pengekangan diri. Pada keyakinan Yahudi misalnya, makna dari puasa adalah menahan diri dari makan dan minum, termasuk pula air. Gosok gigi diharamkan pada puasa hari besar Yom Kippur dan Tisha B’Av, tetapi dibenarkan pada puasa hari kecil. Durasi waktu berpuasa sampai hari ke-6 pada satu tahun. Pada sejumlah agama, ada hari-hari tertentu dimana puasa tidak boleh dilaksanakan. Dalam keyakinan Yahudi puasa tidak dibenarkan di hari Sabat. Pada keyakinan Islam puasa tidak boleh dilakukan pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Dalam ajaran Kristen, inti dari berpuasa adalah pertobatan, melawan keinginan duniawi. Agama Kristen mengajarkan orang ketika berpuasa sebisa mungkin tidak memberitahukan kepada atau diketahui oleh sesamanya, baik sesama yang sedang berpuasa atau sesamanya yang sedang tidak berpuasa, termasuk merahasiakan di hari apa ia mulai berpuasa. Hal ini ber- beda dengan puasa dalam Islam dimana waktu berpuasa dan pelaku puasa jelas tertampakkan puasanta Kristisni sengaja menyamarkan tubuhnya agar tidak terlihat bila sedang berpuasa dari orang lain, malahan oleh sesama keyakinan sendiri. Oleh karena itu, puasa Kristen pada umumnya tidak diketahui keberadaanya oleh keyakinan non- Kristen dan media publik. Di dalam beberapa aliran Kristen, perbedaan ber- puasa hanya dalam hal pelaksanaan dan tata cara, namun inti maupun tujuanya sama.
Bagi Kristen Ortodoks puasa merupakan bentuk disiplin spiritual yang amat penting. Oleh karena itu dapat difahami bila sering disebut dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, serta berkaitan erat dengan teologi Kristen Ortodoks tentang sinergi antara tubuh (soma) dan jiwa (pneuma). Disamping itu, bagi Kristen Ortodoks puasa bukan bertujuan untuk menderita, melainkan buat menjaga diri dari segala bentuk ketamakan, kerakusan, keserakahan, serta pemikiran, perkataan maupun perbuatan yang buruk. Dalam tradisi Kristen Ortodoks kegiatan berpuasa diiringi pula dengan kebajikan lain, seperti berderma serta perbanyak berdoa, bahkan disebutkan “bila melaksanaan puasa tanpa diiringi dengan kebajikan tersebut maka puasanya akan sia-sia”.
Dalam Katolik Roma, puasa biasanya dilaksanakan dengan makan kenyang satu kali sehari (dalam waktu 24 jam). Wajib untuk dilakukan di hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Meminum air tak termasuk soal puasa. Namun, pada saat ini yang lebih ditekankan adalah makan kenyang satu kali sehari, menahan hal-hal dari keingin- an dunia serta keinginan daging (manusia), seperti tidak makan, tidak minum, termasuk menahan nafsu, sikap dan hal hal yang paling disukai. Puasa dilakukan selama 40 hari men- jelang Paskah, yang dikenal sebagai “masa Prapaskah”. Selain puasa resmi itu, secara pribadi umat Katolik disarankan untuk berpuasa pada hari-hari lain yang dipilihnya sendiri sebagai ungkapan tobat dan laku tapanya. Gereja juga memiliki aturan berpantang, yang diharapkan untuk dilakukan tiap Jumat sepanjang tahun, kecuali jika hari Jumat itu bertepatan dengan hari raya gerejawi. Pada hari-hari puasa dan pantang itu, Umat Katolik diharapkan dapat meluangkan lebih banyak waktu dan perhatian untuk berdoa, beribadat, melakukan olah tobat, serta karya amal.
Kyakinan berpuasa di dalam Kristen Protestan tak ada bedanya dengan Katolik, yaitu melawan keinginan dunia, keinginan daruli daging (manusia), yaitu puasa makan, minum dan hal-hal yang tidak baik dalam tingkah laku dan pikiran. Kristen Protestan dan aliran Protestan yang la- in mempunyai juga cara puasa dalam hal-hal tertentu — selain puasa makan dan minum — berpantang terhadap rutinitas keseharian yang sering dilakukan dan yang paling disukai. Contoh, puasa tidak menonton TV, puasa dengan mendengarkan lagu selama 1 minggu, 1 bulan, bahkan dalam jangka waktu tertentu, dsb. Oleh kerena, inti berpuasa Kristen ialah menahan hawa nafsu, keinginan duniawi.
Tujuan berpuasa pada Kristen Protestan sama dengan pada Kristen Katolik, yakni sesuai dengan ajaran dalam Al Kitab (Injil). Pembedanya hanya pada pelaksanaan serta tata carannya. Pasa di dalam Protestan tak berpatokan pada hari-hari tertentu. Dalam keyakinan Protestan, pribadi itu sendiri yang menentukan hari untuk berpuasa yang dipilihnya sendiri, yaitu selama 1 minggu, 1 bulan, atau jangka waktu tertentu yang dipilihnya, dan diharapkan bisa berlanjut pada bulan-bulan berikutnya. Dalam pelaksanaannya, sebisa mungkin puasanya tak diketahui oleh kerabat, sanak saudara, dan orang-orang di sekitarnya di saat berpuasa. Oleh sebab itu, puasa Protestan tak diumumkan secara resmi. Kristen Protestan secara resmi tidak mewajibkan umatnya untuk berpuasa. Oleh karena itu tidak memiliki bulan khusus untuk berpuasa. Walau demikian, Ketua masing-masing Gereja mengajarkan kepada umatnya untuk menyempatkan diri sesering mungkin untuk berdoa dan berpuasa dengan keinginan serta ketulusannya sendiri, bukan karena paksaan. Patokan berpuasa Kristen Katolik dan Protestan adalah sama, yakni mengambil dasar dalam ajaran Alkitab.
Dalam Buddhisme, puasa merupakan bagian dari pelaksanaan Atthasila yang bisa dilaksanakan pada hari uposatha, atau di hari apapun. Hari uposatha (pada bahasa Sanskerta disenut “Upavasatha”, varian sebutan “upavasa”) adalah hari dimana umat Buddha menjalankan perenungan dan pengamatan yang sudah dilakukan sejak masa kehidupan Buddha Gautama, dan masih dipraktikkan hingga kini. Sang Buddha mengajarkan bahwa hari Uposatha diperuntukkan buat “membersihkan pikiran dari hal-hal kotor”, yang menyebabkan diperoleh ketenangan batin maupun kebahagiaan. Secara umum, Uposatha dilaksanakan sekali dalam seminggu pada negara-negara Theravada sesuai dengan empat fase bulan, yaitu (1) bulan baru, (2) bulan purnama, serta (3 dan 4) dan dua kali bulan separuh.
Pantangan pada saat berpuasa dalam Atthasila adalah sebagai berikut : (a) aku bertekad untuk melatih diri menghindari pembunuhan terhadap makhluk hidup; (b) aku bertekad untuk melatih untuk menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan; (c) aku bertekad melatih untuk menghindari perbuatan tak suci; (d) aku bertekad melatih diri hindari ucapan yang tidak benar; (e) aku bertekad untuk melatih diri hindari minuman memabukkan hasil penyulingan ataupun peragian yang menyebabkan lemahnya kesadaran; (f) aku bertekad melatih diri untuk hindari makan-makanan setelah tengah hari; (g) aku bertekad melatih diri untuk hindari menari, menyanyi, bermain musik, atau pergi melihat pertunjukkan, berhias dengan bunga bungaan, wewangian dan barang olesan (kosmetik) dengan tujuan mempercantik tubuh; dan (h) aku bertekad untuk melatih diri menghindari penggunaan tempat tidur maupun tempat duduk yang tinggi dan besar (mewah). Puasa dalam Buddhisme merupakan pelaksanaan sila ke-6 pada Atthasila. Waktu puasa adalah setelah tengah hari hingga setelah matahari terbit. Selain puasa, umat Buddha juga melaksanakan seluruh pantangan yang tertera pada Atthasila.
Pada agama Hindu juga terdapat puasa, yang diistilahi dengan “upawasa (upa = dekat, mendekat, wasa = Tuhan, Dewata, Yang Maha Kuasa). Upawasa atau puasa artinya mendekatkan diri kepada Tuhan. Menurut agama Hindu puasa tak sekedar menahan haus dan lapar, tidak hamya untuk merasakan bagaimana menjadi orang miskin dan serba kekurangan, dan tidak cuma untuk menghapus dosa dengan janji surga, namun sekaligus untuk mengendalikan napsu Indria ataupun keinginan. Indria musti berada di bawah kesempurnaan pikiran, dan pikiran berada dibawah kesadaran budhi. Jika indria terkendali, maka pikiran pun terkendali, sehinga akan dekat dengan kesucian, dekat dengan Tuhan (Dewata).
Terdapat puasa wajib dalam Hinduisme, yaitu : (1) pada saat Siwaratri, yang jatuh tiap panglong ping 14 tilem kapitu atau “Prawaning Tilem Kapitu”, yaitu sehari sebelum tilem. Berupa puasa total : tidak makan dan minum apapun, sejaj matahari terbit sd. terbenam; (2) pada waktu Nyepi, yang jatuh pada penanggal ping pisan sasih kedasa, berupa puasa total tidak makan dan minum apapun dimulai ketika fajar hari itu sd. fajar esok harinya (ngembak gni); (3) Purnama dan tilem, puasa tidak makan atau minum apapun dimulai semenjak fajar hari itu hingga fajar esokan harinya. Puasa yang baik menurut Hindu yaitu pada saat Purnama dan tilem, dimana terjadi perubahan gravitasi bumi akibat gravitasi bulan, yang hal itu seringkalu mengganggu manusia secara emosional; serta (4) Puasa untuk menebus dosa, yang di dalam Veda Smrti dinamai “Tapta krcchra vratam”, berupa puasa selama 3 hari dengan : minum air hangat saja, susu hangat saja, mentega murni saja, tanpa makan-minum sama sekali. Jenis- jenis dosa tersebut berupa membunuh binatang, membunuh atau mencederai sapi, berhubungan kelamin terlarang (zina), memakan makanan terlarang, membunuh manusia, dll.
Selain itu, dalam agama Hindu juga ter- dapat puasa tidak wajib. Misalnya pada hari-hari suci: odalan, anggara kasih, dan buda kliwon. Puasa ini diserahkan pada kebijakan masing-masing, apakah mau siang hari saja atau satu hari penuh. Catatan : momentum pergantian hari menurut Hindu adalah semenjak fajar hingga fajar esoknya; bukan jam 00 di tengah malam. Ada pula puasa yang berkaitan dengan upacara tertentu, seperti setelah mawinten (mediksa), yaitu puasa selama tiga hari hanya dengan makan nasi kepel dan air kelungah nyuhgading. Terdapat pula puasa yang berkait dengan hal tertentu, seperti krtika sedang bersamadhi, meditasi, sedang memohon petunjuk pada Hyang Widhi, atau setiap saat, yang di- tentukan sendiri apakah total selama 1 hari 1 malam atau seberapa mampunya. Puasa dimuali dengan menghaturkan canangsari dan diakhiri puasa dengan sembahyang dengan banten yang sama. Makanan sehat yang digunakan sebelum dan setelah puasa terdiri dari beras (nasi) dengan sayur tanpa bumbu keras, buah- buahan, susu, madu dan mentega. Wanita yang sedang haid tidak diperbolehkan berpuasa. Tak ada perbedaan puasa antara laki dan wanita.
C. Puasa, Praktik Peribadatan Lintas Agama
Uraian diatas memberi gambaran bahwa berbagai agama ataupun keyakinan memiliki ritual yang berupa puasa, yang tata cara, maksud dan tujuannya dalam beberapa hal memperlihatkan adanya persamaan. Hal ini memberi petunjuk bahwa puasa dipandang sebagai praktik ritual penting, bukan saja penting dalam kaitan dengan pemenuhan perintah agama, namun puasa juga dikalkulasi sebagai bermanfaat bagi kesehatan, emosional dari diri manusia, serta pelatihan untuk pengendalian diri.
Urgensi pengendalian itu tergambar pada arti harafiah istilah “saum” di dalam bahasa Arab, yaitu : menahan diri, mencegah, atau berpantang. Demikian pula kata Jawa Kuna dan Jawa Tengahan “pasa”, yang secara harafiah antara lain berarti: ikatan, kekangan. Istilah Sanskreta “upawasa”, yang acapkali dipendapati sebagai muasal dari istilah “puasa”, juga terkandung arti : kewajiban religi yang terdiri atas melakukan pantangan. Dalam keyakinan Yahudi pun, makna dari puasa adalah menahan diri. Begitu juga di dalam ajaran Kristen, inti puasa adalah pertobatan, melawan keinginan duniawi. Kata “pasa” di dalam bahasa Jawa Baru besinonim arti dengan “tirakat”, yang adalah bentuk iktiar untuk menahan hawa nafsu. Praktik ibadah puasa dari para pertapa atau rahib pun untuk maksud dan tujuannya pengekangan diri dari keinginan yang dilarang guna mencapai sebuah tujuan.
Praktik ibadah puasa telah demikian tua. Tidak diperoleh tarikh pasti kapan tradisi ritual berpuasa dimulai. Namun, jauh sebelum turunnya firman Allah (dalam surat Al-Baqarah ayat 183), praktik berpuasa telah menjadi ritual wajib dari keyakinan di daerah Timur Tengah. Kewajiban yang demikian juga terdapat lama dalam keyakinan Yahudi, Kristen Ortodok, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan agama atau keyakinan tua lainnya. Oleh karena itulah cukup alasan untuk mengatakan bahwa puasa merupakan praktik ritual yang menyejarah dan dipandang sebagai penting dan bermanfaat oleh berbagai agama. Nuwun.
Sangkaling, 14 April 2021
Griyajar CITRALEKHA (Sumber tulisan, M. Dwi Cahyono)