WartaPress, Malang (19 Juni 2025) — Bertempat di Gedung Serbaguna PCNU Krapyak, sejumlah organisasi kepemudaan dari berbagai latar belakang di Kabupaten Malang menyatakan komitmen bersama dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Acara bertajuk “Pencegahan Perkawinan Anak kepada Generasi Muda di Tingkat Kabupaten Malang” ini digelar sejak pukul 08.00 WIB dan berlangsung penuh antusiasme hingga selesai.
Kegiatan ini diinisiasi oleh LAKPESDAM PCNU Kabupaten Malang sebagai bentuk kepedulian terhadap meningkatnya angka perkawinan usia dini, khususnya di wilayah Kabupaten Malang. Ketua LAKPESDAM, Bapak Sutomo, dalam sambutannya menyampaikan pentingnya membangun kesadaran kolektif dan kolaborasi aktif antarorganisasi kepemudaan untuk menghadapi tantangan sosial ini.
“Dalam menjalankan roda organisasi, kami mengajak seluruh elemen pemuda untuk mengedepankan tiga prinsip: Care (peduli terhadap masalah), Cure (mencari solusi), dan Change (melakukan perubahan). Ketiganya menjadi fondasi utama dalam pencegahan perkawinan usia dini,” ujarnya.
Paparan Kritis dan Solutif dari Para Tokoh Muda
Dalam sesi utama, Hj. Aprilia Mega Rosdiana, M.Si, CPCE, memandu diskusi interaktif yang melibatkan para perwakilan organisasi seperti LKP3A Fatayat NU Kabupaten Malang, BEM UNIRA Malang, PC PMII, Komunitas Pemuda Hindu, Ansor, dan KNPI. Diskusi dibuka dengan berbagi pengalaman terkait praktik perkawinan anak yang masih terjadi di sekitar mereka.
Hj. Aprilia menegaskan bahwa perkawinan anak—yakni pernikahan di bawah usia 18 tahun—melanggar Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 dan berdampak serius terhadap masa depan anak. Ia menyampaikan fakta bahwa 1 dari 9 anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Dari jumlah tersebut, 90% di antaranya mengalami putus sekolah dan potensi gangguan psikologis seperti stres kronis serta depresi tiga kali lebih tinggi dibanding remaja seusianya.
Mengutip teori Erik Erikson tentang perkembangan psikososial (fase identity vs role confusion), Hj. Aprilia menjelaskan bahwa pernikahan dini menyebabkan remaja kehilangan kesempatan membangun identitas diri secara utuh, sehingga berisiko mengalami krisis identitas dan ketergantungan emosional.
Ia juga menyoroti beberapa penyebab utama perkawinan anak, antara lain:
- Kemiskinan dan anggapan anak sebagai beban ekonomi.
- Tekanan sosial dan budaya: “daripada zina, lebih baik menikah”.
- Lemahnya edukasi kesehatan reproduksi (Kespro).
- Minimnya perlindungan dari tokoh masyarakat.
Langkah Konkret dan Rekomendasi
Beberapa solusi yang ditawarkan dalam sesi tersebut meliputi:
- Meningkatkan edukasi Kespro di sekolah dan lingkungan masyarakat.
- Penguatan peran peer educator dari kalangan muda yang membawa energi positif.
- Pendekatan berbasis empati dan narasi, bukan ceramah menggurui.
- Penggunaan media sosial untuk kampanye kreatif.
- Kolaborasi aktif dengan tokoh lokal dan orang tua sebagai mitra strategis.
Setiap organisasi punya kekuatan unik. Tinggal bagaimana kita mengolah kekuatan itu menjadi energi sosial yang mampu membebaskan anak-anak dari jerat pernikahan dini,” tutur Hj. Aprilia.
Deklarasi dan Penandatanganan Komitmen Bersama
Acara dilanjutkan dengan pembacaan dan penandatanganan Komitmen Bersama Generasi Muda Kabupaten Malang dalam pencegahan perkawinan anak. Para perwakilan organisasi secara simbolis membubuhkan tanda tangan sebagai bentuk dukungan aktif terhadap gerakan ini.
Sesi Dialog: Peran Ayah dan Tantangan ‘Married by Accident’
Dalam sesi tanya jawab, muncul diskusi kritis tentang bagaimana menyikapi kasus married by accident. Beberapa peserta menilai bahwa praktik menikahkan anak karena kehamilan di luar nikah sering dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi kesehatan mental dan masa depan anak.
Isu lain yang mencuat adalah pentingnya peran ayah dalam pola pengasuhan dan pengawasan anak di keluarga. Ditekankan bahwa pengasuhan yang setara antara ayah dan ibu sangat berpengaruh dalam membangun pondasi nilai dan komunikasi sehat di dalam rumah tangga. **
Penulis : Syaifudin Zuhri









