Penulis: Anggi Putri Pratiwi (Mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni Tari dan Musik, Universitas Negeri Malang)
Malang (16/11/2024) – Sebagai bentuk gotong royong dan semangat kebersamaan, masyarakat Desa Codo, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang mengadakan acara gebyar kuda lumping. Acara ini tidak hanya bertujuan untuk menghibur masyarakat, tetapi juga sebagai upaya penggalangan dana guna mempercepat pembangunan masjid yang menjadi pusat ibadah dan kegiatan sosial masyarakat.
Kuda Lumping,atau yang juga di kenal sebagai jaranan Kepang, adalah tarian tradisional Jawa yang berasal dari Ponorogo. Tarian ini menampilkan Sekelompok penari yang menunggangi Kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu atau bahan lain yang di hias sedemikian rupa sehingga menyerupai kuda sungguhan.
Kuda Lumping biasanya di tarikan oleh Penari Laki-laki,namun ada juga yang melibatkan penari Wanita.Kuda-kuda an terbuat dari anyaman bambu atau bahan lain,dan di hiasi dengan bulu, iringan musik menggunakan gamelan, kendang, gong, dan alat Musik Tradisional lainnya. Selain menari sering kali ada atraksi seperti memakan beling, menjilat api atau bahkan kesurupan.
Kuda Lumping sering di kaitkan dengan semangat perjuangan dan perlawanan tarian ini juga memiliki unsur ritual ,seperti untuk memohon keselamatan atau keberkahan,selain memiliki makna yang dalam, kuda lumping juga berfungsi sebagai hiburan bagi Masyarakat.
Asal usul Kuda lumping masih menjadi perdebatan. Ada yang berpendapat bahwa tarian ini terinspirasi dari pasukan berkuda Pangeran Diponegoro, sementara yang lain melihatnya sebagai bentuk adaptasi dari tarian tradisional yang lebih tua.
Pagelaran Kuda lumping ini di meriahkan oleh Group Kuda lumping Satriyo Joyo Wardhono Gatisworo pimpinan Bapak Fandy yang biasanya dikenal dengan nama Djakrem Group ini berasal dari Desa Talangsuko-Turen.
Pada tahun 2021, sekelompok pemuda berinisiatif mendirikan kelompok Kuda Lumping dengan nama Mahesworo. Kelompok ini dengan cepat berhasil menarik minat masyarakat dan semakin populer. Namun, seiring dengan meningkatnya popularitas, muncul perbedaan pendapat di antara para pendiri terkait arah pengembangan kelompok.
Melihat potensi yang masih besar dari kesenian tersebut, pendiri yang lain memutuskan untuk melanjutkan perjuangannya dengan mendirikan kelompok baru bernama Satriyo Aji Joyo Wardhono Gatisworo. Sejak saat itu, Kuda Lumping Gatisworo terus berkembang dan menjadi salah satu kelompok jaranan yang cukup dikenal di daerah ini.
Minat Masyarakat Kabupten Malang terhadap Kesenian Kuda Lumping sangat tinggi, terbukti dari banyaknya penonton yang datang dari berbagai kalangan usia.Puncak keseruan biasanya terjadi saat sesi kalapan,di mana penari terlihat seperti kerasukan roh halus. Fenomena ini menjadi daya Tarik tersendiri yang membuat pertunjukan kuda lumping semakin menarik.
Sesi kalapan dalam pagelaran kuda lumping adalah momen yang paling dinantikan sekaligus paling menegangkan. Para pemain, dalam keadaan kesurupan, akan berkeliling sambil membawa caplokan dan berinteraksi secara fisik dengan penonton. Ada kalanya dalam sesi ini terjadi konflik antara pemain dengan penonton yang dapat menimbulkan keributan, sehingga aparat keamanan dapat membubarkan acara. Sehingga, perlu diperhatikan bahwa dalam setiap kegiatan, penting untuk menjaga ketertiban dan keamanan, serta saling menghargai satu sama lain.
Acara kuda lumping di Desa Codo telah menunjukkan bahwa kesenian tradisional ini masih memiliki daya tarik yang kuat bagi masyarakat. Namun, di balik keseruan pertunjukan, terdapat tantangan yang perlu diatasi, seperti konflik internal dalam kelompok dan insiden yang tidak diinginkan.
Sejarah perkembangan kelompok Gatisworo menjadi bukti bahwa pelestarian budaya tidak selalu berjalan mulus. Namun, dengan semangat gotong royong dan pengelolaan yang baik, kuda lumping dapat terus menjadi bagian penting dari identitas budaya masyarakat dan menjadi sarana untuk mempererat tali persaudaraan. ***