Oleh: Orviani Ersa Putri Samuel
(Mahasiswa Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas PGRI Kanjuruhan Malang)
Marsinah merupakan anak perempuan dari pasangan miskin di Nganjuk. Ia lahir di Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur pada 10 April 1969. Sejak kecil ia hidup dengan sederhana bahkan pernah tinggal bersama neneknya karena orang tuanya bercerai. Marsinah seorang perempuan yang tangguh dan berani dalam menyuarakan haknya dan hak para buruh lainnya. Ia aktif menyuarakan dan memperjuangkan hak buruh di perusahaannya. Dengan aksi nyata dan keberaniannya, Marsinah melibatkan dirinya dalam aksi mogok kerja guna penuntutan kenaikan upah sesuai ketetapan gubenur Jawa Timur saat itu. Namun nahasnya akibat aksi beraninya tersebut Marsinah hilang tanpa jejak dan ditemukan kembali saat ia sudah tidak bernyawa. Marsinah bukan hanya perempuan biasa, namun ia merupakan simbol keberanian perempuan muda yang menolak tunduk pada penindasan. Marsinah juga sekaligus menjadi bukti nyata pada gagalnya penegakkan HAM di Indonesia.
Mei tahun 1993, Indonesia dikejutkan dengan kabar tragis dan mengenaskan yang dialami oleh seorang buruh perempuan yang berani. Marsinah ditemukan tewas dengan tanda-tanda penyiksaan yang terdapat ditubuhnya setelah ia dengan berani memimpin aksi mogok kerja. Nama Marsinah mungkin hanya nama sederhana yang melekat pada seorang wanita, namun kisah Marsinah telah menjelma menjadi simbol besar bagi perjuangan buruh ditanah air. Sudah lebih dari tiga dekade rasanya telah berlalu, namun kematian Marsinah masih saja menyisakan luka dan tidak pernah terungkap dengan tuntas. Di balik kematian yang nahas dan tubuh yang dibungkam dengan banyak luka penyiksaan telah menjadi saksi bahwa semangat perjuangannya tetap hidup dan telah menjadi cermin yang lebar akan betapa rapuhnya penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Sampai sekarang kasus kematian Marsinah tidak pernah menemukan titik terang didalamnya. Berbagai laporan hasil forensik serta klaim terkait penyiksaan yang terjadi pada Marsinah sudah kerap di siarkan kepada kalayak umum. Seperti laporan wartawan dan saksi yang selalu menyebutkan terkait tanda-tanda penyiksaan pada tubuh marsinah. Dari laporan tersebut banyak orang yang berspekulasi bahwa memang banyak hal mencurigakan didalam tragedi yang menimpah Marsinah. Kecurigaan adanya kekerasan yang sistematis yang terjadi pada tubuh seorang perempuan yang dengan berani memperjuangkan hak nya dan para buruh lainnya yang tidak ia dapatkan selama ini. Bahkan beberapa laporan juga kerap menyinggung adanya luka-luka berat, trauma fisik, hingga klaim adanya kekerasan seksual. Meskipun sudah banyak laporan hasil forensik yang beredar, detail forensik resmi dan interpretasiya masih saja diperdebatkan. Bahkan laporan forensik tidak selamanya mencapai putusan pengadilan yang mengikat dan tuntas terhadap kasus ini. Dari hasil laporan forensik yang beredar dapat disimpulkan bahwa bukti fisik yang kuat menunjukkan bahwa kematian Marsinah bukan karena sebab alamiah. Namun semua laporan forensik tersebut tidak menerjemahkan pada akuntabilitas hukum tingkat atas.
Memanag setelah penemuan jasad Marsinah, aparat kepolisian memeriksa dan menangkap beberapa tersangka. Dari pergerakan tersebut masyarakat berharap bahwa kasus tersebut dapat selesai dengan tuntas. Namun mirisnya proses hukum yang terjadi pada kenyataannya tidak memadai. Para tersangka memang diadili, tetapi kita juga tidak dapat menutup mata bahwa beberapa tersangka juga dilepas atau hanya di vonis dengan ringan. Bahkan masyarakat mengira mungkin aktor yang diduga berperan sebagai tokoh utama dalam kasus Marsinah tidak diproses sampai ke pengadilan yang kredibel. Organisasi HAM nasional dan internasional berspekulasi bahwa dalam pembuktian kasus Marsinah terdapat upaya penutup-tutupi serta terdapat hambatan dalam pelaksanaan penyidikan independen. Dari hal tersebut nahasnya kasus Marsinah sering dijuluki sebagai impunitas struktural. Hal itu dapat terjadi saat penyelidik dan penuntut tidak mampu menyentuh aktor uama dalam tragedi tragis yang menimpah Marsinah. Kegagalan sistem formal dalam pengungkapan dan penghukuman para aktor antagonis yang terlibat dalam kasus Marsinah, membuat keluarga Marsinah dan gerakan buruh menuntut kebenaran dan keadilan. Bahkan setelah kasus ini sudah berjalan terlampau sangat jauh.
Peristiwa nahas ini berlangsung di era Orde Baru atau saat desakralisasi militer politik masih kuat di Indonesia yang membuat ruang gerak serikat buruh masih sangat dibatasi. Para era ini aparat keamanan memiliki posisi tawar politik yang besar. Pemerintah dan aparat para era ini memiliki kecenderungan untuk meredam gerakan aksi buruh bahkan mengkriminalisasi ativisme. Proses investigasi tindakan pelanggaran pidana yan menyentuh aparat atau aktor berpengaruh negara menghadapi hambatan politik. Pada era ini juga perancangan institusi hukum serta mekanisme penyelesaian masih memberi ruang bagi intervensi politik. Hal itu dapat dilihat dari rendahnya independensi penuntutan, peradilan militer yang dibandingkan dengan peradilan umum, serta akses yang masih tertutup untuk mendapatkan informasi terkait bukti atau arsip sebuah kasus pelanggaran hukum.
Kasus tersebut berdampak kepada banyak faktor yang ada. Berdampak pada kehidupan sosisl-politik seta warisan sejara kelam bangsa. Kasus Marsinah menjadi katalis mobilisasi buruh, namanya terus dipakai dalam aksi solidaritas serta penuntutan pada penuntasan kasus pelanggaran HAM yang ada. Marsinah menjadi simbol peremupuan yang mandiri dan pekerja keras. Namanya juga terukir sebagai perempuan yang berani bersuara pada era yang menilai bahwa wanita hanya boleh diam saat disalahkan bahkan hanya menjadi penghuni rumah yang abadi. Dari kasus Marsinah, isu buruh dan HAM di Indonesia di temukan. Dari kasus ini juga mendorong tuntutan reformasi pada penguasa saat itu. Marsinah tidak pernah mati, namanya selalu layak diingat sebagai warisan sejarah kelam dan nahas bagi kehidupan buruh serta penegakan perlindungan HAM di Indonesia. Dari kasus Marsinah menerangkan dua hal. Betapa rapuhnya ruang kebebasan buruh dan kebebasan berpendapat saat era orde baru berada dibawah tekanan politik. Ingatan kolektif menjadi alat yang ampuh untuk menuntut keadilan ketika institusi formal gagal dijalankan. Marsinah tidak pernah mati bukan sekedar metamorfosa sentimental. Kalimat tersebut adalah penyataan bahwa perjuangan menuntut hak dan kebenaran untuk terus hidup, bahkan jika hukum tidak dapat menuntaskan warisan sejarah kelam bangsa. (***).