WartaPress, Litbang WP – Kota Malang, salah satu kota besar di Indonesia, dari aspek ekonomi SDM dan terutama pendidikan. Meskipun secara geografis tidak luas, kota berpenduduk hampir 1 juta jiwa (berdasarkan KTP) ini menuju metropolitan dengan klaim sejarah paling moncer di zamannya.
Embrio Majapahit, imperium maritim terkuat di dunia abad 15, lahir dari kota sejuk ini. Tak terbantahkan, antara kekuasaan Tumapel (1222), Singhasari dan Majapahit merupakan dinasti se darah, yang hanya karena pertimbangan geopolitik (akses ke laut utara) saja akhirnya di geser ke kota Trowulan pada tahun 1293 oleh Pangeran Wijaya yang tak lain adalah “Kera Ngalam”, istilah populer Malang modern untuk putra daerah. Dan ternyata, pada era tahun 700 an tanah rimbun ini pernah menjadi markas kerajaan kuno (Kanjuruhan) yang tidak tercatat dalam rontal sejarah, kecuali prasasti (Dinoyo) yang menerapkan kalender Candra Sengkala (deretan kata yang mengandung makna kode angka).
Ketika Kota Trowulan menjadi pilihan ibu kota baru nusantara ujung abad 13, kota cadas yang dulunya menjadi kalangan pertarungan para pendekar darah biru hingga markas besar ekspedisi lintas negari ini, kemudian menjadi kawasan damai, tenang, meminjam istilah BK, “kadio siniram banyu sewindu lawase”. Tidak ada gejolak dinamika yang terlalu.
Belanda datang beberapa abad kemudian, seakan paham sejarah Malang, mereka menjadikan kota ini sebagai zona nyaman premium untuk para pejabat dan pensiunan pada satu sisi (porosnya Ijen Bulevar), tapi pada sisi yang lain dikelilingi oleh Batalion militer skala besar. Ini bisa dimaklumi, bahwa rencana strategis penindasan kolonial bisa dibuat di zona kondusif dan steril, sekaligus akses komando perang lebih terjangkau.
Pasca kemerdekaan, era Bung Karno, Malang beberapa kali menjadi tuan rumah agenda strategis seperti tersurat di situs KNIP (bukan KNPI) yang kini terlantar di pojok Sarinah Mall sebagai salah satu momentum lahirnya tatanan demokrasi dalam sistem ketata negaraan kita. Monumen Tugu (depan Balaikota) diresmikan langsung oleh Sang Proklamator.
Demokrasi lokal Malang Kota pasca reformasi
Pada pemilu pertama pasca jatuhnya Orba, 1999, PDIP meraih suara/kursi tertinggi di Kota ini (15), dan pada pilkada 2003 (pemilihan lewat DPRD) Banteng berhasil mendudukkan kadernya yang mantan DPR RI juga Ketua DPC menjadi Wali Kota (Peni Suparto).
Pemilu 2004 merubah konstelasi. Meski PDIP masih meraih suara tertinggi, namun kursi berkurang menjadi 12. Partai baru (Demokrat) seketika meraih 7 kursi. Yang juga mengejutkan adalah lompatan PKS dari 1 menjadi 5 kursi.
Pilkada 2008
Pilkada langsung pertama di Kota Malang dimulai pada 2008. Koalisi yang digalang PDIP berhasil mendudukkan pasangan inkumben Peni-BambangPriyo (IYO). Paslon yang terkenal dengan frasa “timbang mumet mending pancet” ini mengalahkan paslon kuat yang diusung koalisi PKS dengan belasan parpol non parlemen. Faktor yang menguntungkan paslon IYO adalah banteng masih solid dan inkumben terbukti mampu membuat terobosan pembangunan. Selain itu keberadaan 5 paslon telah memecah suara, dimana partai menengah seperti PKB dan PD masing-masing mengusung paslonnya sendiri-sendiri. Perpecahan suara inilah yang membuat suara paslon PKS terganggu padahal gerakan timsesnya sangat bagus dan akhirnya hanya menjadi runner up.
Pilkada 2013
Pada pilkada ini “kegaduhan” politik tak terhindarkan ketika PDIP memunculkan dua calon internal. DPC berdasarkan penjaringan internal mengusulkan satu nama, Heri Pudji (Bendahara DPC partai), sementara DPD Jatim muncul nama Sri Rahayu yang akhirnya bisa mendapatkan rekom DPP. Perlawanan DPC yang dipimpin Peni Suparto berujung dengan dipecatnya sejumlah elit DPC, yang akhirnya membentuk barisan semacam ormas nasionalis lokal “Red Army” yang berganti nama menjadi Garda Pancasila.
Di tengah kegaduhan barisan merah ini muncullah tokoh fenomenal “bernuansa ijo” dari Tlogomas Lowokwaru, HM. Anton atau akrab disapa Abah Anton, sosok yang semula tidak dianggap. Ditambah dengan gerakan politiknya, atribut yang full, ziarah wali massal dan lainnya, Abah Anton semakin dikenal luas dan menggiring orientasi pemilih: paslon Anton-Sutiaji pilihan ideal ditengah kejenuhan, ketegangan, dan kebutuhan akan figur baru yang sejuk serta “peduli wong cilik”.
Anton-Sutiaji yang didukung PKB-Gerindra akhirnya menang telak, mengalahkan Sri Rahayu – Priyatmoko (PDIP) dan Heri Pudji – Sofyan Edi (Golkar, PAN, PPP dan barisan partai non parlemen). Dua paslon independen tampil pada momen ini.
Pilkada 2018
Pada pilkada kali ini sulit dijadikan sebagai referensi karena terjadi pada situasi krisis hukum dan politik, dimana KPK “mengobrak abrik” masalah di Malang Raya. Inkumben Abah Anton yang seharusnya bakal memenangkan pertarungannya yang kedua di ujung waktu menjabat, jatuh dari kursi kekuasaan digantikan wakilnya Sutiaji yang kemudian maju bersama Ketua Golkar Bung Edi.
Tokoh muda dari partai Hanura, Ya’qud Ananda, yang sebetulnya potensial selain karena berhasil meraih rekom banteng dan 4 parpol lainnya, juga anggota DPRD, terpaksa menerima kenyataan, sama dengan paslon Anton-Syamsul, “dikalahkan” oleh peristiwa hukum yang tak terduga. Sehingga Sutiaji dan Bung Edi yang diusung Golkar-Demokrat leluasa mengikuti tahapan pilkada, lalu dengan mudah melenggang meraih suara tertinggi meskipun selisihnya tergolong tipis. Fakta masih tingginya suara Abah Anton (yang tidak mengikuti seluruh tahapan pilkada karena fokus pada proses peradilan) kelak menjadi fenomena menarik akan potensi tokoh ini.
Pilkada 2024, siapa berikutnya?
Penting melihat peta raihan suara pemilu legislatif 2024 dimana PDIP masih menjaga kemenangannya dengan 9 kursi, dikuntit PKB 8 kursi, PKS 7 kursi dan Gerindra – Golkar masing-masing 6 kursi. Di bawahnya ada PAN, Nasdem, Demokrat dan PSI. Selain yang disebutkan tidak memiliki kursi dari 45 kursi DPRD Kota Malang.
Banyak yang bilang “pilkada makota kali ini krisis tokoh yang menonjol” tidak sepenuhnya salah juga tidak bisa dinilai benar semua. Yang tepat adalah “belum ada tokoh yang spektakuler“. Hanya belum.
Ukuran berbobotnya ketokohan seseorang di era kini bukan semata pada kapasitas intelektual, kuantitas materi, pengalaman atau integritas. Tapi sangat tergantung persepsi subjektif publik yang bisa dipengaruhi oleh pencitraan di media atau di berbagai platform medsos.
Publik punya cara tersendiri untuk menilai bobot seorang calon pemimpin. Sementara pikiran masyarakat era kini tidak lagi berbasis data riset melainkan faktor pengaruh media, medsos dan hal-hal yang viral. Algoritma medsos akan menaikkan setiap hal spektakuler sehingga publik tercekoki dengan “kebenaran” versi dunia maya. Media massa pun mirip, setiap hal unik atau yang mengundang trafik, atau yang dikondisikan, akan dirubung seperti gula. Hingga saat ini memang belum ada kandidat yang memenuhi kriteria kuat versi publik. Tapi secara subjektif masing-masing punya pendapat berbeda.
Itu pasti ada alasannya. Pemilu lalu membuktikan bahwa rakyat semakin sulit dipercaya dalam hal validitas dukungan politik. Sebaliknya rakyat juga tidak percaya pada komitmen politisi. Janji politik sama-sama banyak melesetnya. Calon yang sejak awal gencar sosialisasi ke bawah, memimpikan suara mutlak seperti yang dijanjikan, ujungnya kalah dengan calon yang tampak santai di permukaan tetapi di belakang memainkan politik transaksional. Ini nyata. Rupanya gerakan bungkus dengan atribut (meraih popularitas), seribu janji dalam sosialisasi untuk meraih elektabilitas, tetap harus ditutup dengan gerakan lainnya yang mengandung “isi tas“.
Untungnya Kota Malang ini masih banyak masyarakat idealis yang suara politiknya tidak bisa dibeli dengan materi. Masyarakat yang apatis terhadap politik juga tidak sedikit. Sehingga, dana politik besar tidak menjamin seseorang bisa meraih kekuasaan dalam pilkada di Kota Malang (dan tanpa dana politik adalah kemustahilan).
Dengan asumsi semua menyiapkan cost politik, lalu tokoh manakah yang bakal sukses meraih suara rakyat?
Pertama, para mantan Kepala Daerah memiliki potensi. Seperti Abah Anton, terlepas dari perdebatan hukum bisa tidaknya maju, di arus bawah masih disukai. Terkait masa lalu hukumnya, ia sudah mempertanggungjawabkan semua di proses peradilan yang terbuka, dan tidak sedikit orang yang menilai Anton sebagai “the right man on the wrong place” alias orang baik yang apes karena berada pada tempat dan waktu yang salah. Seandainya secara aturan clear maju maka Anton amat potensial merebut kembali posisi politiknya yang sempat tidak utuh dimilikinya.
Karir politik Sutiaji termasuk bagus, dari Anggota DPRD kota, Wakil Wali Kota, Plt hingga Wali Kota 2018-2023. Beberapa hasil kebijakannya antara lain realisasi pembangunan Jembatan Kedungkandang, Kajoetangan Heritage dst. Harus diakui pada saat Malang digeruduk KPK, Sutiaji termasuk politisi yang selamat, dan diuntungkan. Semestinya figur ini dinilai paling potensial, namun tidak dalam banyak berbincangan politik.
Selanjutnya muncul nama birokrat seperti Penjabat (Pj) Wali Kota, Wahyu Hidayat. Mantan Sekda Kabupaten ini tentu tidak diragukan dalam hal tata kelola birokrasi, namun dunia politik hal yang berbeda. Meski demikian, ia memiliki kapasitas untuk terjun dalam kontestasi pilkada Kota Malang, dengan misalnya membangun “deal” dengan sejumlah parpol. Jika mengikuti tantangan pemahaman umum yang menilai “Kota Malang lagi krisis figur” maka tampilnya Wahyu bisa jadi jawabannya, figur kuat alternatif.
Kedua, kader parpol besar belum menunjukkan keinginan serius untuk maju. PDIP sudah membuka pendaftaran sebagai tahap penjaringan formal calon. Sudah banyak yang daftar, dari internal maupun luar partai. Partai ini membuka penjaringan di DPC, DPD maupun DPP, sama dengan lainnya, keputusan rekom tetap wewenang DPP. Seandainya Dewanti Rumpoko (mantan Wali Kota Batu, terpilih jadi DPRD Prov 2024-29) mau mencalonkan, dengan resiko kehilangan jabatan DPRD Prov apabila kalah, maka peluang banteng berjaya seperti pilkada 2008 bisa terjadi. Dewanti bisa ajak wakil internal maupun kader parpol pendukung lainnya. Sementara Ketua DPC Made yang bisa dibilang mampu jaga stabilitas partai, keseimbangan politik legislatif-eksekutif, sudah tepat untuk bertahan di posisinya. Kehilangan tiga kursi dalam pileg lalu bukan kesalahan daerah melainkan imbas dinamika politik nasional dimana “gizi politik” penguasa tidak mendarat di kandang banteng.
Dari PKB muncul keberanian dari kader mudanya, Gus Farih, untuk tampil: bahwa pilkada merupakan hajat demokrasi yang melibatkan parpol, seharusnya aktor kontestasi adalah para kader partai (tapi faktanya yang mendapat panggung adalah pendatang non partai). Farih yang juga anggota DPRD ini nampaknya mencoba mengisi ruang politik yang selama ini terlalu memanjakan tokoh non parpol yang datang hanya membawa logistik tetapi tidak pernah berproses di dalam. Sistem kaderisasi partai rasanya tak berarti jika sewaktu-waktu setiap orang bisa menumpang parpol sebagai kendaraan meraih jabatan publik. Terlepas dari aspek edukasinya, dan kurang diunggulkan, peluang Ketua GP Ansor Makota ini terbuka lebar sebagai calon Wakil. PKB hanya butuh tambahan 1 kursi untuk dapat mengusung paslon.
Dari PKS ada Ahmad Fuad Rahman yang muncul. Anggota komisi D DPRD kota ini termasuk generasi baru PKS yang menampilkan ciri milenialis kanan yang moderat, terpelajar, pergaulan keorganisasian yang luas. Sudah seharusnya PKS seperti pada masa 2008 berani mengusung kader sendiri maju, bukan sekedar pelengkap mengantarkan kader partai lain berkuasa. Apalagi sekarang PKS memiliki 7 kursi, cukup mencari 2 kursi lagi maka partai yang terkenal rapi dalam database ini bisa membuktikan bahwa PKS punya kepala daerah di basis merah-hijau.
Ketiga, paslon independen yang besar kemungkinan lolos pendaftaran adalah Heri Cahyono (HC) – M. Rizky Wahyu Utomo. Karena syarat dukungan KTP 7,5 % dari DPT 651.758 jiwa, adalah sebesar 48.882 KTP, nampaknya akan bisa dipenuhi oleh paslon ini. HC yang punya pengalaman bertarung di pilkada kabupaten 2018 (dengan suara cukup signifikan) tentu sudah belajar banyak strategi dan pengorganisasian timses independen untuk pilkada makota kali ini. Jika memang benar parpol sedang “krisis figur kuat” maka bukan hal mustahil panggung politik makota akan dirajai oleh paslon independen ini. Pemilih yang apatis terhadap parpol berbanding lurus dengan ketidakrespekan terhadap paslon yang diusung partai, di titik ini paslon independen dapat masuk membawa harapan baru bahwa “calon independen tidak terikat pada parpol, tidak terbebani oleh intervensi eksternal (partai) dalam menentukan kebijakan, sehingga jika terpilih akan lebih fokus pada urusan rakyat”. Paslon independen lebih leluasa membangun framing: ‘pengusungnya bukan parpol tetapi rakyat Kota Malang’ sehingga publik diberi ruang leluasa dan akses langsung untuk memberikan usulan dalam kebijakannya tanpa hirarki lembaga politik. Apalagi, calon wakil yang diusung merupakan tokoh muda kekinian yang cukup punya pengaruh di medsos, selebgram yang kadang disapa Boncell ini sedang berada di zaman yang pas. Pilkada 2024 kesempatan baik bagi paslon indie untuk melawan dominasi parpol.
Selain nama-nama di atas, muncul sejumlah tokoh yang akan dan sudah mulai mengikuti tahapan penjaringan sejumlah partai, seperti Dwi Hari Cahyono (PKS), M. Kharis (mantan birokrat/bapeda), Daniel Rohi (PDIP), Ir. Bido (Promeg), Imam Supandi (tokoh pendidikan), Fairouz Huda (Komisaris Utama PT. Puspa Agro/BUMD JTM), dan lainnya. Semakin banyak tokoh yang muncul demokrasi kian semarak, diharapkan memperkuat edukasi politik untuk masyarakat.
Diperkirakan, pilkada Kota Malang 2024 ini bakal ada 5 paslon, dimana kelima paslon tersebut dapat disebut seimbang. Tidak ada potensi yang “njomplang” karena realitas hasil survey tergolong rata melandai. Pilkada berbeda dengan Pileg yang faktor “money” sangat menentukan.
Untuk bisa menang pilkada di zaman “viral” ini lebih memerlukan keseimbangan: gagasan, keterkenalan, trust, jaringan timses, kreativitas publikasi/kampanye, dan tentu saja logistik sebagai pendukung. (Red). **
● SeriCatatanRedaksi (Bagian-1).
● Notulensi FGD Litbang WP