Oleh: Arie Ferdinand Waropen (Ketua Umum Solidaritas Generasi Muda-Papua (SGM-P)
Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) 2025 ramai belakangan ini di ruang publik dan menjadi sorotan berbagai kalangan masyarakat. Perubahan UU Nomor 34 tahun 2004 tersebut cukup banyak mengundang perhatian dan direspon publik terutama dari kalangan mahasiswa/sivitas akademika serta kelompok masyarakat. Tak sedikit juga mahasiswa yang melakukan aksi turun jalan berdemonstrasi menyuarakan penolakan atas pengesahan RUU TNI tersebut. Diketahui DPR RI resmi menetapkan revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi Undang-Undang. RUU TNI disahkan lewat sidang paripurna di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis 20 Maret 2025.
Kalau kita lihat dengan fokus substansi Undang-Undang pada berapa pasal yang direvisi yaitu Pasal 3, Pasal 7, Pasal 47 dan Pasal 53. Yang pertama terdapat pada Pasal 3 yang mengatur hubungan antara TNI, Presiden, dan Kementerian Pertahanan yaitu ;
Pasal 3 Ayat 1 : Menegaskan bahwa TNI berada di bawah Presiden dalam hal pengerahan dan penggunaan kekuatan militer.
Pasal 3 Ayat 2 : Menyebutkan bahwa kebijakan strategis, dukungan administrasi, dan perencanaan strategis TNI berada dalam koordinasi Kementerian Pertahanan.
Yang kedua, pada Pasal 7 RUU TNI mengatur tentang tugas TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP). Dalam revisi UU TNI, pasal ini mengalami perubahan dengan adanya dua tugas baru yaitu :
- Menanggulangi ancaman pertahanan siber
- Melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.
Yang ketiga, Pasal 47 RUU mengatur tentang jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif. Dalam perubahan menjadi prajurit TNI aktif dapat mengisi 14 kementerian/lembaga. Dan adanya perubahan lima instansi yang bisa diisi TNI aktif (tidak perlu mundur dari dinas keprajuritan) yaitu
- Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)
- Badan Penanggulangan Bencana*
- Badan Penanggulangan Terorisme
- Badan Keamanan Laut
- Kejaksaan Republik Indonesia (Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer).
Yang keempat, pada Pasal 53 RUU TNI yang lebih mengatur tentang internal TNI terkait batasan usia pensiun sesuai jenjang kepangkatan.
Saya kira dari komposisi UU TNI yang disahkan saat ini masih dalam proporsi domainnya perangkat aparatur sipil negara (TNI). Bila merujuk dari strategi keamanan nasional dengan melihat dinamika politik secara global saat ini, maka revisi untuk memantapkan sektor-sektor vital ketahanan nasional sangat diperlukan. Oleh karena itu saya pikir dalam urgensi waktu, adanya Surpres dari presiden Prabowo kemarin untuk memuat RUU TNI dalam Prolegnas DPR RI tentu punya alasan dalam sudut pandang dan analisa/kajian beliau sebagai kepala negara saat ini. Bahwasannya langkah ini menjadi penting untuk menyikapi gejolak politik internasional akhir-akhir ini.
Sedikit refleksi dengan referensi lawas, sejak dulu juga konsep tentara Indonesia adalah berangkat dari konsep tentara rakyat. Selain bekas KNIL dan PETA, unsur utama pembentuk tentara adalah laskar-laskar rakyat. Sukarno memilih Suprijadi menjadi tokoh revolusioner dalam pemberontakan PETA di Blitar—sebagai palinglima TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Ketika Suprijadi tidak muncul, tongkat komando diberikan kepada Sudirman, mantan guru yang pernah mendapatkan didikan PETA. Semenjak awal tentara di Indonesia tak dipisahkan dengan rakyat. Sehingga referensi generasi pejuang dahulu ini perlu dipahami dan ditransformasikan pada kebutuhan berbangsa-bernegara kita saat ini sesuai dengan regulasi dan dikawal bersama oleh kita semua sebagai rakyat. Kita semua mendukung supremasi sipil, namun supremasi sipil yang seperti apa? Yang terkontrol dan berasas analisan-kajian untuk ikut menjaga kedaulatan bangsa dan negara ini dari intervensi ancam dunia luar.
Karena itu, untuk semua bentuk demonstrasi masa aksi dalam menyampaikan pendapat yang terjadi adalah dinamika yang wajar terjadi di negara demokrasi. Undang-Undang UU Nomor 9 Tahun 1998 mengatur dan menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Menjamin hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tinggal sebagai kaum intelektual dan rakyat dalam menggunakan Hak Asasi Manusia untuk berpendapat di ruang publik perlu diatur agar terukur. Supaya kebebasan berekspresi (demokrasi) itu tidak membatasi apalagi merugikan Hak Asasi Manusia lainnya sebagai sesama warga negara. Agar semua bisa berjalan dengan baik dalam terciptanya dinamika demokrasi bernegara dalam mewujudkan Cita-cita Kemerdekaan. (**).