Oleh: Dr. Fidela Dzatadini Wahyudi, S.Sosio, M.Sos
(Alumni Doktoral Sosiologi UMM dan Pemerhati Issue Gender)
Di meja dapur rumah-rumah Indonesia, kesetaraan yang diperjuangkan oleh Kartini harus diuji, setiap kali harga kebutuhan pokok melonjak tinggi, namun isi dompet tidak mampu mengimbangi. Di meja dapur, ibu harus memainkan peran-perannya, mulai dari menjadi menteri keuangan tanpa jabatan, juru logistik tanpa gaji, hingga psikolog keluarga yang harus menyembunyikan ekspresi cemasnya ketika pengeluaran terus mengucur tanpa henti. Ternyata, kita sering kali tidak menyadari, bahwa realitas ibu yang terhimpit dalam kesulitan di meja dapur adalah cerminan dari ketimpangan yang lahir dari kebijakan politik yang tidak berpihak, kebijakan yang tidak mendengarkan suara-suara perempuan. Padahal, suara perempuan adalah suara politik paling krusial yang kebijakannya membawa dampak paling dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Dapur-Panggung Pertama Ketidaksetaraan
Dapur memang tidak pernah menjadi pembahasan dalam wacana politik maupun buku Kartini, tapi ternyata di dapurlah ketimpangan berulang kali dipentaskan. Di balik tumpukan piring, perempuan harus mengatur ulang taktik strategi dalam setiap hari untuk menjalankan peran-peran yang dimainkannya. Permasalahan ketika krisis melanda, harga bahan pokok meningkat, harga listrik maupun air yang kian mencekik, juga terbatasnya akses terhadap pendidikan dan jaminan hidup yang layak, ternyata semua bermuara di dapur. Di sanalah ibu menanggung bebannya yang sering kali dihadapi sendiri.
Tembok rumah yang mengungkung perempuan dalam pemikiran Kartini, hingga saat ini belum sepenuhnya runtuh. Permasalahan saat ini tidak lagi berupa larangan untuk bersekolah atau bersuara, namun berubah bentuk menjadi ketimpangan yang hadir dalam beban ekonomi yang berada dalam rutinitas sehari-hari. Dalam himpitan realita tersebut, perempuan dipaksa untuk cerdas dalam mengelola keuangan, kuat menanggung beban pengasuhan, maupun sabar dalam ketidakpastian masa depan. Perempuan dipaksa untuk berkelit dari kemiskinan yang merupakkan buah dari sistem kebijakan yang tidak adil. Ironisnya, walaupun krisis ini harus dihadapi setiap hari dan menjadi ketidaknyamanan bagi keberlangsungan hidup perempuan, suaranya seringkali terabaikan dan jauh dari ruang-ruang pengambilan keputusan.
Suara Perempuan-Ujung Tombak Kesetaraan
Esensialitas suara perempuan adalah denyut politik yang paling nyata, karena dampak ketimpangan kebijakan yang dibuat di meja penguasa akan lebih dahulu menghampiri ke meja dapur rumah mereka. Perempuan adalah orang pertama yang memutar akalnya ketika lonjakan harga beras naik, pelayanan publik dipersempit, subsidi dicabut, dan beberapa akibat ketidakadilan ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Di balik angka statistik inflasi yang meningkat, terdapat perempuan-perempuan yang sedang mengusahakan keranjang belanja tetap terisi, piring-piring di meja dapur tidak kosong, dan ruang tumbuh anak-anak tetap terjamin.
Kesetaraan yang diperjuangkan Kartini tidak hanya berhenti pada hak untuk mengenyam pendidikan maupun hak untuk bersuara. Namun kesetaraan yang ia juga harapkan adalah perempuan bisa mendapatkan ruang untuk menentukan arah kebijakan yang bisa mempengaruhi hidup mereka. Karena hak berbicara tanpa mendapatkan hak untuk didengar hanyalah ilusi kesetaraan. Sebagai orang pertama yang paling memahami dan mengalami krisis yang ada di keseharian, perempuan seharusnya adalah garda terdepan yang suaranya paling banyak diperhitungkan. Namun realitanya, perempuan masih banyak dijadikan hiasan yang tetap boleh menyuarakan pendapat, walaupun pada akhirnya suara mereka masih tersingkirkan dalam merumuskan arah kebijakan.
Keadilan tidak pernah lahir dari ruang kekuasaan yang di dalamnya keberadaan perempuan masih menjadi sekadar simbolik pelengkap saja, di mana mereka boleh bersuara, namun ternyata tidak untuk didengar. Perempuan memang tetap hadir dalam kursi-kursi rapat, mengisi daftar absensi, namun suaranya tidak cukup didengar untuk membuat arah penentu kebijakan. Maskulinitas di dalam ruang kekuasaan membuat kegagalan dalam memahami permasalahan yang menjadi beban perempuan.
Pengabaian suara perempuan di ruang kekuasaan membuat ketimpangan tidak hanya dipertahankan, namun terus diproduksi berulang kali dan justru lahir dari kebijakan yang seharusnya memiliki peran untuk memperbaiki dan mengatasi ketidakadilan tersebut. Harga beras yang melonjak, kelangkaan gas elpiji serta harga kebutuhan pokok lain yang meningkat, selalu gagal dikendalikan oleh kebijakan. Akibatnya, beban akan selalu bertambah di atas pundak perempuan. Di atas meja-meja penguasa, angka inflasi hanyalah sebatas statistik di dalam kertas laporan mereka, namun di atas dapur rumah-rumah perempuan, hal tersebut berarti memangkas gizi hidangan untuk anggota keluarga, mengurangi jumlah jatah makan, atau berani menanggung malu untuk berhutang ke tetangga demi mempertahankan hidup.
Sudah seabad lebih Kartini menuliskan tentang tembok-tembok yang membuat gelap hidup perempuan dan hanya mampu dipadamkan dengan cahaya pengetahuan. Namun hari ini, tembok tersebut berbentuk meja dapur, tempat di mana kegelapan akibat ketimpangan paling terasa. Beban di pundak perempuan akan tetap ada, selama suara perempuan tidak pernah sungguh-sungguh didengarkan di meja penguasa untuk menentukan kebijakan. Karena kesetaraan yang diimpikan Kartini tidak akan pernah terwujud selama kebijakan lahir tanpa mendengarkan suara perempuan yang akrab dengan persoalan di dapur rumah mereka. ***