Oleh : M. Dwi Cahyono (Arkeolog – Sejarahwan Nusantara)
A. Satuan Pasukan Kavaleri Lintas Masa
Sebutan “kavaleri (bahasa Latin “caballus”, bahasa Perancis “chevalier”, dan bahasa Inggris “kavalery”)” berarti: kuda. Oleh karena itu, sebuatan “pasukan kavaleri” menunjuk pada: pasukan berkuda. Konon pada era kemonarkhian terdapat pasukan perang, yang secara khusus bertempur dengan mengendarai kuda sambil mengangkat senjata, ada beragam senjata yang digunakan, seperti tombak pedang, panah, gada, dsb.
Namun kini, sebutan itu memunjuk pada: pasukan militer khusus yang bertempur menggunakan kendaraan lapis baja atau tank. Terkait itu, kavaleri dibagi menjadi : (1) kavaleri lapis baja yang mengendarai tank, dan (b) kavaleri berkuda, yang menunggangi kuda. Hanya saja, pada saat ini kavaleri berkuda hampir tak pernah digunakan dalam perang dan militer.
Pasukan kavaleri berperan sebagai satuan ketentaraan yang terbilang mampu bergerak dengan cepat dalam skala besar dan sekaligus berfungsi sebagai penyerang kejut atau pendobrak yang akan membuka jalan bagi pasukan infanteri. Pasukan kavaleri di zaman Yunani Kuno, misalnya “phalanx dan legion” , dianggap sebagai pasukan elit lantaran kemampuannya dalam mendobrak baris pertahanan musuh dengan cepat dan mematikan. Kemampuan tempur pasukan kavaleri juga tergambar pada prajurit Aria, tentara perang Mongolia, Sarasin, pasukan Indian, dsb. Ke-elit-an pasukan berkuda (kavaleri) tersebut turut mendomgkrak keelitan kuda, sehingga konon kuda menjadi kendaraan khusus bagi kaum bangsawan, tuan tanah atau orang berada. Bahkan pada bangsa Aria di era Wedaisme, kuda dipuja menjadi binatang suci — bukan sapi.
B. Gambaran Pasukan Kavaleri pada Relief Candi
Tanpa terkecuali, pasukan berkuda hadir pada satuan ketentaraan Jawa Kuna. Terutama sejak masa Kediri (Pangjalu, tahun 1049-1222 Masehi), dengan adanya reformasi di tubuh kemiliteran, pola penataannya tak lagi sentralistik namun lebih desentralis. Terrdapat satuan-satuan ketentaraan, yang tak hanya mendasarkan kepada jumlah pasukan di suatu kesatuan, namun juga spesifikasinya. Ada pasukan yang begerak dengan berjalan kaki. Ada yang berkebdaan kuda, gajah, kereta perang. Ada pula yang dikelompokkan menurut senjata khusus yang digunakan, seperti pasukan pemanah, pemimbah, dsb. Bahkan, ada satuan yang secara khusus memainkan musik perang (war music, bahasa Jawa Kuna “tabeh-tabehan”). Demikianlah, kavaleri merupakan sebutan untuk kesatuan militer menurut kendaraan yang digunakan dalam mobilitas militernya.
Gambara pasukan berkuda di Masa Hindu-Buddha kedapatan secara literal di dalam sumber data su- sastra atau secara visual dalam bentuk relief candi dan seni arca. Ada sejumlah situs yang memilki jejak historis padukan kavaleru masa itu. Salah satu diantaranya terdapat di Candi Penataran, yang pada telaah ini berupa sebuah panil relief pada wiracarita “Ramayana” di teras I candi induk Penataran. Kon- teks pengkisahannya adalah pertempuran antara pasukan Rama yang didukung oleh pasujan wanara pimpinan Hamunan melawan pasukan raksasa se- bagai prajurit Rahwana. Dengan adanya telief ini, tak diragukan bahwa pada era Majapahit pastilah telah terdapat semacam “pasukan kavaleri’.
Digambarkan dalam panil relief tertelaah seorang prajurit yang mengenderai kuda. Manakala tengah memacu kuda, sang prajurit sembari melapaskan anak panah. Anak-anak panah dijajarkan pada suatu tempat anak panah dan dikalungkan pada leher kuda agar mudah dan cepat dalam mengambilnya
Di belakangnya tampak berlari seorang prajurit pe- jalan kaki yang mengenakan mahkota bulu dengan persejatan: tombak, pedang dan perisai. Prajurit ini adalah bala tentara dari Rama. Adapun tiga orang prajurit raksasa yang sepanil dengannya adalah pa- ra prajurit Rahwana. Keduanya itu tengah berada di medan laga, terlibat dalam pertempuran sengit se- bagai upaya untuk membebaskan Sita dari sekapan Rahwana di negeri Langkha. Prajurit berkuda acap ditempatkan pada deretan depan sebagai padykan pemukul, sekaligus pembuka jalan bagi satuan ke- tentaraan pejalan kaki (infanteri) yang berada pada deret yang lebih kemudian.
C. Citra Pasukan Kavaleri pada Era Keemasan Majapahit
Kendatipu pada relief cerita ini pasukan tersebut dikisahkan sebagai pasukan Rama, namun pada konteks masa pemahatannya, bukan tidak mungkin menggambarkan pasukan perang di era keemasan Majapahit. Pasukan bermahkota bulu juga kedapatan sebagai pasukan Kresna pada relief cerita lain, yaitu relief cerita “Kresnayana” pada teras II Candi Penataran. Selain itu aksesoris yang berupa mahko- ta berbulu juga kedapatan di relief “Arjynawiwaha” yang erpahat di kaki Candi Surowono pada wilayah Pare Kabupaten Kediri, yang menggambarkan para prajurit pimpinan Arjuna. Mengingat bahwa padu- sak bermahkota bulu itu hadir pada beberapa relief cerita yang semasa, maka bukan tak mungkin bila ide penggambarannya ditimba dari pasukan perang pada masanya, yaitu di era keemasan Majapahit.
Keberadaan tentang prajurit berkendaraan pe- ruang yang berupa kuda, gajah ataupun kereta (ratha) ba- nyak diceritakan dalam sumber data susastra Jawa Kuna maupun divisualkan pada relief candi. Relief di Candi Penataran ini kian mengatkan bukti bahwa pada masa itu terdapat pasukan kavaleri, yakni sua- tu kesatuan ke- tentata berkuda yang menjadi kala itu merupakan kesatuan militer elit. Ringkik kuda di kancah peperangan maupun lengking suara gajah menjadi nuansa bunyi pertempuran masa lampau. Kuda menjadi kendaraan perang penting selain ga- jah, ontra, dan burung onta — kedua binatang yang disebut terakhir tak terdapat di Nusantara sebagai kendaraan perangnya. Selain itu tergambar bahwa panah adalah senjata yang konon digunakan antara lain oleh pasukan kavaleri. Tentunya tidak mudah memacu kencang kuda sembari melancarkan anak panah tepat mengena ke sasaran. Suatu kepiawian yang dipunyai oleh padukan kavaleri masa lalu di Jawa.
Demikianlah gambaran sekilas mengenai pasu- kan kavaleri di Jawa pada era Majapahit, seperti antara lain digambarkan pada relief “Ramayana” di teras I candi Induk Penataran era Majapahit. Semua tulisan ringkas ini memberi kefaedahan bagi para pembaca budiman. Nuwun.
Sangkaling, 23 Januari 2023
Griyajar CITRALEKHA (Sumber tulisan: M. Dwi Cahyono).